“Jadi kaya gini yang kamu maksud kerja, Arjuna?!”
Muka Arkana memerah, bukan karena malu tetapi karena amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Urat leher pria itu bahkan sampai terlihat, matanya memerah dengan sorot kecewa.
Pulang mengantarkan Nathan, Arkana langsung meminta istrinya agar Viola diamankan dalam kamar. Begitupun dengan si kembar yang tidak boleh ikut campur, ia suruh untuk mengerjakan pekerjaan kantor yang sempat tertunda.
Dan disinilah ia berdiri, diruang tempatnya bekerja dirumah. Semacam ruangan pribadi khusus untuk bekerja.
Kuku-kuku Arkana memutih, tangannya mengepal kuat. Membanting beberapa polarid foto hasil cetakan yang baru saja diberikan Edgar padanya. Meskipun ia terlihat cuek juga santai menanggapi sikap putra ketiganya ini, nyatanya Arkana tidak setega itu.
Pria itu tetap meminta tangan kanannya yakni Edgar agar selalu memantau kegiatan putranya. Sempat tidak mendapatkan jejak sih, tetapi sekarang lihatlah sekalinya Edgar membawa kabar-Arkana sudah tidak bisa menahan amarah.
“Jelasin maksud foto-foto itu apa Arjuna?!”
Dikursi itu, Arjuna duduk menunduk. Dirinya dalam keadaan setengah sadar karena sudah kebanyakan minum.
“ARJUNA!” bentak Arkana keras.
Tak perlu khawatir, ruangan ini didesain kedap suara. Mau sekeras apapun Arkana berteriak tidak akan suaranya sampai pada telinga istri ataupun anak-anaknya yang lain.
“Haha,” kekeh Arjuna tiba-tiba.
Arkana naik pitam. Ditariknya kerah kemeja yang dipakai Arjuna, melayangkan tatapan setajam pisau. “Jelaskan pada Ayah apa maksud foto-foto itu, Arjuna!”
“Apalagi yang harus dijelasin? Udah jelas kan dari foto itu?” jawab Arjuna.
Pria itu meremat foto yang ada digenggamannya. Menggeram marah atas jawaban sang putra yang malah seakan menantang dirinya.
“Selama ini kamu mabuk-mabukkan? Main wanita?”
“Haha, kenapa?”
Plak
“Jangan bodoh Arjuna! Ayah sudah mewanti-wanti barang siapa yang masih mabuk-mabukan atau bermain wanita akan Ayah hilangkan namanya dari kartu keluarga!”
Arjuna berdecih. “Hilangin aja Yah! Hilangin!”
Arkana menatap putranya tak percaya. Selama ini ia terlalu membanggakan Arjuna sampai-sampai ia tidak tau bahwa anak ketiganya ini bisa berbuat seperti ini.
Benar sekali, Edgar memberinya beberapa foto dimana disitu ada Arjuna sedang mabuk-mabukan, dj tidak jelas, juga yang paling parah adalah 'main' dengan wanita.
“KAMU SADAR NGGAK SALAHMU DIMANA ARJUNA?!”
“SADAR! GUE SELALU SALAH DIMATA KALIAN SEMUA, GUE SELALU SALAH! YANG BENER CUMA NATHAN!” teriak Arjuna memejamkan matanya, tetapi dari sudut netra itu ada sebulir air mata yang meluncur bebas dari sana.
***
“Nathan, dibawah ada temen-temen kamu katanya mau jenguk. Turun gih.”
Cowok itu berdecak, baru saja ingin merebahkan tubuh diranjang dan menutup mata tetapi lihatlah mama sudah berdiri di depan pintu. “Males, Ma. Suruh mereka pulang aja,” jawabnya acuh hendak mengubah posisi tidurnya.
Rara melangkah masuk, wanita itu tersenyum simpul. “Ditemuin dulu ya temennya, kasihan mereka udah kesini loh masa tega sih?”
Karena sudah malas mendengarkan bujukan mama, ia langsung bangkit. Dibantu mama untuk berjalan menuruni tangga, cowok itu menampilkan wajah datarnya. Bahkan bisa dibilang dia menampilkan muka malas, yang membuat siapa saja yang melihat akan merasa tak enak menganggu waktunya.
“Muka kamu itu loh!” tegur papa yang sudah duduk diruang tamu bersama tiga orang lainnya.
Setelah sampai disana, mama pergi untuk membuatkan minum sedangkan ia duduk disamping papa. Menatap bergantian tiga orang yang lain, ia mendengkus saat melihat objek yang tak ingin dilihatnya.
“Ngapain?”
“Apa?”
“Ngapain lo bawa 'dia' kesini?” tanyanya datar dan dingin, menampilkan mimik wajah yang tidak suka.
“Hush, nggak boleh gitu sama tamu!” sergah papa, ”Nak David maafin Nathan ya. Kalau gitu dienakin ngobrolnya, Om tinggal dulu mau momong Leo.”
Sepeninggalan papa suasana menjadi canggung, bahkan dari ketiga orang itu tidak ada yang mau membuka suara. Dia sendiri diam, memilih memperhatikan layar televisi yang menampilkan dua bocah gundul daripada harus menatap ketiga orang ini.
“Jo, gimana keadaan lo?”
Ia diam, tak membuka mulutnya sama sekali.
“Keadaan lo udah mendingan, Jo? Besok udah masuk kampus lagi, kan?”
“Bacot.”
David mengelus dadanya sabar, ia menatap prihatin pada Shopia. “Udah mending lo diem dulu, Shop. Nathannya lagi sensi nggak mau ditanyain,” timpalnya.
“Ngapain lo bawa jalang kesini?”
Mata Shopia berkaca-kaca. Sebegitu bencinya kah cowok yang dicintainya ini? Bahkan ia rela merendahkan harga dirinya untuk mengejarnya, tetapi lihatlah perilaku juga ucapan cowok itu.
“Gimana keadaan lo, Nath?” Jaiden angkat suara, tak mau menimbulkan suasana yang semakin mencekam. Niat mereka kesini ingin menjenguk, tanpa ada kekerasan.
“Lo bisa liat sendiri.”
“Besok mau ikut latihan basket?”
“G tau.”
“Scorpio ngajak kita sparing lagi, gimana?”
“O.”
Anj-David mengumpat untuk keberapa kalinya setelah mendengar jawaban sahabatnya pada Jaiden. Sungguh ia ingin sekali merobek mulut itu, hih gemes deh. “Jawab yang bener kek Nath!”
Mengabaikan ucapan temannya, Nathan kembali menatap tajam Shopia. “Ngapain lo masih disini?”
“Jo, gue kan mau jenguk lo. Apa salah?”
“Bagi gue, lo hidup aja salah.”
Oke. Nggak papa sumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Prince
Novela Juvenil"Suatu saat aku pengen bisa liat kamu, Nathan. Semoga aja nanti pas kamu wisuda udah ada pendonor dan aku bisa liat wajah ganteng tunanganku ini." "Nathan, kamu denger aku?" Hening. "Aku janji. Suatu saat pasti kamu akan bisa ngeliat lagi indahnya s...