“Udah, mendingan kamu nginep aja ya udah malem lho ini.”
Arah pandangan matanya ia lemparkan ke jam dinding, disana jarum jam pendek sudah menunjukkan pukul 11.00 yang artinya ini jam 23.00 sudah memasuki tengah malam. Cuaca pun layaknya mendung, sedari tadi terdengar suara petir menyambar.
“Iya, Nathan kamu nginep disini aja nggak papa. Nungguin Viola tidur, kan tadi? Nanti biar Ayah yang bilang ke papamu,” sahut Arkana menatapnya dengan senyum.
Menimang-nimang apakah ia harus menginap atau pulang, pandangannya mengarah ke jendela dengan gorden tipis. Lekas terdengar suara rintik hujan membasahi bumi, suaranya pun makin deras menandakan hujan semakin lebat.
“Udahlah biarin dia pulang, Bun.” Keandra mengusap matanya seraya menuruni tangga, mulutnya menguap lebar dengan sorot mata sayu. Sudah bangun tidur rupanya.
“Hush, nggak boleh gitu! Siapa yang ngajarin kaya gitu?!”
Keandra terkekeh, mengusap tengkuknya. “Hehe nggak, Bun. Bercanda doang kok,” kilahnya.
Arkana kembali memandangnya, memberikan tatapan hangat nan meneduhkan. Diiringi senyuman yang terpatri diwajah pria itu melangkah mendekatinya. “Nginep aja, tidur disamping kamar Viola. Kebetulan disana masih kosong, sekalian jagain putri Ayah,” ungkapnya.
Keandra melotot. WHAT THE HELL?
“Apa-apaan sih, Yah?! Mana bisa gitu coba, gimana kalau dia ada niatan ngambil kesempatan dalam kesempitan coba? Kalau Viola diapa-apain dia gimana?!” sergah Keandra tidak terima.
“Tinggal nikahin aja, haha.”
Keandra mendengkus. Dasar ayahnya ini!
“Yaudah dari pada ribut mendingan Nathan tidur dikamar ama gue aja dah, muat kayaknya tuh kasur berdua,” timpal Keandra, tak apalah ia berkorban malam ini. Daripada adiknya jadi santapan serigala berbulu kelinci.
Ceklek
“Bunda, Ayah ... Nathan dimana? Kok dia nggak ada dikamar aku?”
Oh lihatlah sekarang, sikecil terbangun. Nathan buru-buru menghampiri gadisnya, menuntunnya untuk duduk disofa ruang tengah rumah Arkana. “Jangan dikucek sayang, nanti merah lho,” selanya menghentikan pergerakan tangan gadisnya.
“BUBAR BUBAR!” Keandra dengan langkah dihentak-hentakkan berlalu dari sana, berdecih singkat menatapnya dengan sinis.
Arkana mendekati keduanya, lalu berujar, “Putri Ayah kenapa bangun? Takut suara petir ya?”
Gadisnya mengangguk lirih.
“Yauda, sekarang ditemenin Nathan ya. Ayah mau nemenin Bunda istirahat, dia juga takut petir,” kekeh Arkana menepuk puncak kepala Viola lembut, mengecup kening putrinya dengan sayang.
“Bunda tinggal ya, sayang. Kalau ada apa-apa panggil, okey?”
Selanjutnya hanya tinggal mereka berdua disini, Nathan lekas memeluk tubuh gadisnya. Menatap muka bantal yang lucu itu dengan gemas, sesekali mengecupi pipi tembam gadisnya. “Mau lanjut bobo?”
“Tapi jangan tinggalin aku.”
“Nggak sayang, tadi aku cuma ambil minum.”
“Kamu nginep, kan? Bobo ama aku aja ya, Nathan?”
Hah? Bagaimana bisa dirinya tidur bersama si kecil nan menggemaskan ini? Apa bisa ia menahan sisi harimau yang sedari tadi sudah meronta-ronta ingin menerkam Olanya?
Bisa-bisa stress ia nanti.
“Mm, aku temenin kamu sampai bobo aja gimana? Nanti aku bobo disamping kamar kamu itu, mau?”
Gadisnya menggeleng.
Wis angel iki, angel.
“Maunya gimana, mm?”
“Sama kamu, bobo diusap-usap.”
Dengan menabahkan batin juga menyiapkan mental, Nathan menghembuskan napasnya perlahan kemudian menghirup lagi oksigen sebanyak-banyaknya. Nggak papa, malam ini lo bisa Nath! Lo bisa!
“Iya aku temenin, Ola.”
Lalu tanpa bisa dicegah, gadisnya tiba-tiba merangkulkan tangan ke lehernya. Pindah kepangkuannya begitu saja dalam sekejap, ia menelan ludah kasar. Oh, tidak!
“Gendong,” pinta gadisnya lugu, mulai menelusupkan wajahnya disela leher. Memberikan sensasi yang menggairahkan kala napas Viola menerpa lehernya. Shit!
Dengan kemantapan juga keteguhan hati yang dipunya, Nathan langsung bangkit. Menggendong gadisnya seperti koala, beratnya sih memang tak seberapa tapi menahan hasrat yang ada didalam dirinya itu loh. Mana sudah bergejolak sedari tadi, tidak bisa berword-word.
Kamar gadisnya memang sengaja tidak dilantai dua, malahan tepatnya dibawah tangga. Katanya agar lebih mudah, takut-takut kalau naik turun tangga sendirian, Viola akan terluka.
Sampai dikamar bernuansa green soft, sprei bergambar kartun juga dinding-dinding dihiasi polaroid foto keduanya juga foto gadisnya bersama kelima kakaknya-ia merebahkan tubuh gadisnya yang ternyata sudah tertidur dalam gendongan.
Nathan mengulas senyum, gadisnya sangat cantik. Hendak menyelimuti tubuh mungil itu, sisi kelakiannya muncul kembali ketika tanpa sengaja melihat piyama gadisnya tersingkap memperlihatkan perut mulus dengan kulit yang putih. DOUBLE SHIT!
Memejamkan matanya, lantas menarik piyama itu agar seperti sedia kala. Nathan menghela napasnya, huft-tanpa pikir panjang ia membungkuk, duduk disamping gadisnya lalu melumat bibir pink alami yang terbuka sedikit.
“You make me crazy, babe.”
Setelahnya rasa kantuk kembali menyerang, sedari kemarin ia kurang tidur kan? Melupakan kabut gairah yang menyelimuti, Nathan tanpa sadar tertidur disebelah gadisnya, memeluk erat layaknya saling tak mau kehilangan.
“Good night, sweetie.”
Cup
Mengecup kening gadisnya lalu memejamkan mata. Tidur bersama gadisnya kiw kiw, nggak papa sekali-kali ini, pikir Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Prince
Teen Fiction"Suatu saat aku pengen bisa liat kamu, Nathan. Semoga aja nanti pas kamu wisuda udah ada pendonor dan aku bisa liat wajah ganteng tunanganku ini." "Nathan, kamu denger aku?" Hening. "Aku janji. Suatu saat pasti kamu akan bisa ngeliat lagi indahnya s...