Bab 42

13.2K 1K 114
                                    

Hai, ketemu lagi. Maaf up nya gak di malming, soalnya kemarin sedikit males up karena masih banyak yg gak vote, huhu.

Ayolah gais, tinggal pencet aja kok:)

Gimana, apa bab sebelumnya udah bikin kalian emosi?

Semoga di bab ini kalian gak emosi yaaa:)

(HAPPY READING)

(⁠•⁠‿⁠•⁠)

Setelah selesai sholat Dzuhur berjama'ah di masjid, Kahfi langsung bergegas untuk pulang ke rumah. Ia khawatir dengan keadaan istrinya, apalagi setelah perkataannya tadi pagi.

Semua pesan yang Kahfi kirim belum di balas oleh Huda, bahkan telponnya pun belum di angkat sama sekali. Kakinya melangkah cepat menuju rumah, menghiraukan beberapa santri yang menyapanya.

Sesampainya di depan rumah, laki-laki itu tidak bisa masuk karena pintu di kunci oleh sang istri. Kahfi mengacak rambutnya frustasi, ia pun kembali mencoba menelpon. Panggilan pertama tidak di jawab, tapi setelah beberapa panggilan akhirnya istrinya itu mau menjawab panggilan telponnya.

"Halo, assalamu'alaikum sayang, aku di depan, bukain pintunya ya," pinta Kahfi.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah, iya Mas, sebentar Huda turun dulu," jawab Huda kemudian mematikan sambungan telpon mereka secara sepihak.

Kahfi bernapas lega, tak lama pintu pun terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita cantik dengan hijab pashminanya. Laki-laki itu tersenyum manis ke arah sang istri, sedangkan Huda langsung mengambil tangan suaminya untuk ia cium.

"Ayo masuk, gak enak di liatin santri," ujar Huda sambil melirik beberapa santri yang melihat mereka.

Kahfi pun menengok ke arah belakang, benar saja, beberapa santri tengah memperhatikan mereka. Keduanya pun langsung masuk dan mengunci pintu, Kahfi membawa Huda untuk duduk di ruang tengah dan mengajaknya untuk menyelesaikan masalah tadi.

"Sayang, boleh Mas ngomong?"

"Mas belum makan siang, makan siang dulu ya, baru kalau kau ngomongin sesuatu."

"Engga sayang, Mas gamau makan kalau masalah kita belum selesai. Tolong, kita selesaikan semuanya, ya," mohon Kahfi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

Huda menghela napas pelan, ia tidak boleh egois, kalau masalah tidak segera di selesaikan maka nantinya rumah tangga mereka yang akan menjadi korban, dan itu akan membuat pelaku yang ingin menghancurkan rumah tangganya menang.

Anggukan kepala Huda membuat Kahfi bernapas lega, ia membenarkan posisi duduk Huda agar menghadap kearahnya. Tangannya pun mulai menggenggam erat tangan sang istri, menatap sang istri dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Maaf, maaf tadi aku udah bentak kamu. Dan maaf aku udah belain perempuan lain di hadapan kamu, maafin Mas, sayang," ucap Kahfi.

"Mas belum jawab pertanyaan Huda."

"Pertanyaan apa?"

"Mas masih cinta sama dia?"

"Wallahi sayang, aku udah gak cinta sama dia setelah kembalinya kamu. Tadi Mas pusing sayang, makanya Mas kelepasan membentak kamu."

"Pusing? Kamu sakit?" tanya Huda dengan tangan yang langsung mengecek suhu badan suaminya.

Kahfi tersenyum tipis dengan kekhawatiran istrinya itu, ia meraih tangan Huda dan kembali menggenggamnya. "Engga sayang, Mas cuma pusing mikirin gimana caranya menangkap pelaku itu."

"Mas, jangan lakuin semuanya sendiri. Ada Abi, Abah, Bang Hai sama Bang Khalil. Huda yakin mereka pasti mau bantu kita, Huda gak mau kalau Mas nantinya kenapa-napa."

PILIHANKU KAMU (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang