201, No, I'm Not Okay

151 31 4
                                    

Mendekati jam satu, ponsel sudah sejak tadi di tangannya. Dia masih meragu ketika akhirnya pagar di luar berbunyi. Tanpa menunggu, dia meloncat mengintip dari celah tirai dan hatinya begitu lega ketika yang masuk adalah mobil Angkasa.

Terbirit dia membuka pintu, menyambut Angkasa. Dia berdiri dengan tatapan bercampur antara lega dan cemas. Ketika Angkasa keluar dia bergegas mengambil tangan suaminya untuk dia salimi. Tapi sudahnya, dia merasa ada yang aneh dengan Angkasa. Beberapa detik dia terdiam menatap wajah Angkasa sampai akhirnya lelaki itu berjalan berlalu meninggalkan Aurora yang seperti baru tersadar dan ikut melangkah di belakang Angkasa.

"Sudah makan, A?" tanyanya sambil berusaha menyejajari langkah Angkasa.

"Sudah," jawab Angkasa pendek.

"Mau langsung mandi aja?"

Angkasa mengangguk.

Di kamar dia langsung menyambar handuk dan baju ganti lalu menjulurkan pada Angkasa yang sedang membuka kancing kemeja. Tapi di tengah jalan gerakan tangannya terhenti, dia tidak jadi membuka kemeja itu di depan Aurora. Dia malah mengambil isi tangan Aurora dan ketika menyadari Aurora memberikan t-shirt alih-alih berjalan ke kamar mandi dia malah berjalan ke wall in closet. Aurora mengikuti saja langkah Angkasa dan ketika melihat suaminya mengambil kaus berlengan panjang, spontan dia bertanya;

"Aa nggak enak badan? Kok pakai lengan panjang?"

"Nggak." Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang tidak menjawab pertanyaan. Itu pun dia jawab sambil lalu dan berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Aurora yang makin bingung mendekati panik.

Ada yang salah dengan Angkasa. Tapi apa? Aurora tidak tahu.

Di kamar mandi, Angkasa melanjutkan membuka kemeja lalu bercermin dan melihat luka bekas kukunya. Cukup dalam meski sudah berhenti berdarah. Seharusnya luka ini diobati, tapi di sini tidak ada iodine dan dia tidak mau meminta itu pada Aurora. Akhirnya dia memilih mandi dan membersihkan luka itu apa adanya. Hanya dengan sabun sambil meringis menahan perih.

Di luar, Aurora menunggu dengan cemas. Dia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Berkali-kali dia melirik jam di dinding. Belum terlalu lama Angkasa di kamar mandi tapi dia merasa sudah cukup lama. Masih cukup wajar untuk durasi mandi. Dia kembali menunggu sambil tetap berjalan mondar mandir. Sesekali dia menempelkan telinga ke pintu kamar mandi. Dia mendengar bunyi air bergemiricik. Jantungnya berderap.

Apa Aa benar-benar mandi?

Dia menggigiti bibir dan melirik jam di dinding. Begitu tak sabar untuk mengetuk pintu atau langsung menerobos masuk. Lalu dia tidak mendengar lagi suara air. Seharusnya sebentar lagi Angkasa keluar.

Dia pun menunggu.

Di dalam, Angkasa kembali memperhatikan bekas luka di lengan. Ini harus segera sembuh. Aurora tidak boleh tahu luka ini. Dia mencari-cari benda apa pun yang bisa dijadikan obat di depannya.

Hanya ada eau de toilette. Seharusnya kadar alkoholnya cukup. Dia langsung membuka tutup botol dan menyemprotkan tepat ke bekas luka.

Begitu luka terkena alkohol, sengatan perih menjalar di sepanjang luka dan serasa menyebar ke seluruh tubuh. Angkasa mendesis.

Sakit

Perih.

Serasa sakit yang datang mendadak menyengat menyamarkan semua sakit yang lain. Angkasa menyemprot lagi. Sengatan sakitnya berkurang. Lagi dan sakitnya makin berkurang. Sampai akhirnya dia tidak merasa sakit lagi.

Entah luka itu sudah sembuh atau dia sudah terbiasa dengan sakitnya.

Dia mengulang hal yang sama untuk lengan yang sebelah lagi. Persentuhan pertama sengatannya mengejutkan, tapi tubuhnya seperti sudah bersiap untuk sakit itu. Kejutannya tidak seperti lengan yang pertama. Dia menyemprot lagi, tersengat lagi, menunggu sakitnya mereda lalu menyemprot lagi. Sampai sakitnya tidak terasa lagi.

Ap—

.

Tok tok tok.

.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Tersentak, dia berusaha merapikan wajah.

"A..." Aurora memanggil sambil mengetuk pintu lagi. "Aa masih mandi?" Dia menempelkan telinga di panel pintu dengan sebelah tangan memegang dada—jantung. Wajah cemasnya tidak bisa tertutup dengan suara yang berusaha dia tenang-tenangkan.

Bergegas, Angkaa memakai kaus dan setelah yakin semua tetutupi sempurna, dia langsung membuka pintu. Tentu saja dia menjumpai Aurora yang wajahnya menempel ke panel pintu. Ganti Aurora yang tersentak. Dia langsung mundur dengan ekspresi seperti pencuri tertangkap basah.

"Ngapain kamu di situ?"

"Eng ... eng ... nggak. Nggak ngapa-ngapain. Cuma nunggu Aa selesai mandi aja."

Angkasa tidak melanjutkan petanyaannya. Dia langsung berjalan ke ranjang dan merebahkan tubuh.

"Matiin lampunya, La. Aku mau tidur." Angkasa tidur memunggungi sisi kosong.

Aurora langsung mematikan lampu kamar lalu menyalakan lampu tidur.

"Matiin aja, La. Nanti juga ada cahaya dari luar."

Lagi-lagi Aurora langsung menjalankan perintah itu. Lalu, takut-takut, dia berjalan ke ranjang sisinya. Perlahan dia pun merebahkan tubuh menghadap langit-langit tapi lehernya menoleh ke arah Angkasa. Hanya mendapati punggung lebar suaminya yang dia lihat begitu kaku.

Angkasa tahu, Aurora memperhatikannya. Tatapan Aurora serasa menusuk punggungnya. Namun, tak mau terlalu banyak cakap dan perintah ini itu, dia membiarkan saja istrinya begitu.

Dalam gelap dia berusaha bebas. Pikirannya kembali berlarian ke mana-mana. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengelus bekas luka di lengan. Bekas luka itu tetap teraba meski sudah berlapis kaus. Dia membayangkan sengatan alkohol tadi.

Apa memang harus terbiasa sakit agar luka tidak terasa? Lihatlah orang-orang yang tertempa ujian berat sepanjang hidupnya. Mereka tetap bisa melanjutkan bahkan menikmati hidup. Santai saja menjalani hari. Mungkin mereka sudah sangat terbiasa sampai sakitnya hidup tidak terasa.

Harus sekeras apa hidup menempanya dengan ujian-ujian sampai dia bisa menikmati semua sakit dan luka kehidupan?

Untuk semua sakit dan luka yang dia rasa, apa ini sudah puncak semua sakit? Tapi hidup selalu menyisakan riak dan badai. Saat ini, dia merasa hidupnya sedang berbadai. Namun, apa ke depan semua akan jauh lebih baik? Dia takut, apa yang sekarang dia rasa bukan badai melainkan riak saja.

Membayangkan itu, tubuhnya bergidik.

Apa aku sanggup menjalani hidup seperti itu?

Aku sudah merasakan sakitnya ditinggal cinta pertama, sudah merasakan sakitnya ditinggal mati istri. Sudah merasakan hidup terombang-ambing di angkasa tak bertuan tak beradab. Apa lagi?

.

Plak

.

Imajiner, dia menampar pipinya. Mengingatkan dirinya untuk tidak menantang Alam dengan bertanya apa lagi.

Sudah, ini sudah cukup. Beri aku kehidupan yang tenang. Aku lelah, Tuhan. Kenapa semua datang bertubi ketika aku berusaha mendekat padaMu? Apa Kau menolakku? Menjauh tak ingin kudekati.

Aku tak pernah merasa sesakit ini ketika aku melanggar banyak sekali aturanMu. Apa Kau jijik padaku?

Semua yang dulu kulakukan untuk menutupi luka sakit hati. Sampai akhirnya luka itu tidak terasa lagi dan aku bisa bertahan hidup.

Ya,

Aku bertahan hidup meski aku harus berkali-kali terjun ke titik nadir. Sampai aku tidak tahu lagi di mana titik itu berada. Selalu saja ada titik yang baru dan aku harus kembali berkawan dengan sakit.

Sampai kapan?

"A...." Suara lembut namun cemas itu diiringi sentuhan lemah di bahu tapi bisa menyentak Angkasa, menariknya lagi ke dunia nyata yang sekarang. "Are you okay, A?"

No, I'm not okay.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang