238, Keputusan

81 19 10
                                    

Jam menunjukkan hampir pukul sembilan ketika Angkasa memarkirkan mobil di depan rumah Laras. Mendengar bunyi mobil, Laras langsung keluar kamar dan bergegas ke depan. Belum sempat Angkasa mengetuk pintu, daun pintu sudah bergerak membuka. Angkasa masuk dan Laras menutup pintu.

"Gya man-"

Laras sudah menabrakkan diri ke pelukan Angkasa dan menangis di sana.

"Aku takut, Ga. Takut banget."

"Sshh..." Angkasa menarik Laras lebih mendekat dengan sebelah tangan memeluk pinggang perempuan itu sementara sebelah lagi memeluk kepala yang terpuruk di dadanya sambil mengelus rambutnya.

"Kenapa Gya sampai senekat itu?" Dia terus menangis. "Selama ini Gya penurut banget. Nggak pernah ngomong kasar ke aku."

"Maaf, La...." Angkasa menarik napas panjang. "Gara-gara dia marah ke aku tu anak jadi berulah."

"Terserah dia mau ngapain. Aku nggak masalah dia marah-marah, aku nggak apa-apa dia bentak-bentak, tapi jangan sampai senggol-senggol hukum kayak gini..." isaknya makin keras.

"Sshh ... sabar ya, La." Dia berbisik begitu dekat di telinga Laras. "Kalau kamu panik malah makin nggak bisa mikir."

"Tapi aku panik beneran, Ga. Aku nih siapa sih? Kalau sampai Gya ketauan, aku bisa apa? Aku nggak bisa apa-apa, aku cuma bisa pasang badan."

"Tenang, La."

"Aku dulu jungkir balik biar dia bisa lahir. Aku kerja pontang panting biar dia bisa hidup lebih baik daripada aku. Tapi kalau ending-nya dia harus dipenjara, buat apa aku dulu seperti itu?"

Angkasa terdiam, tersengat kalimat-kalimat Laras. Penyesalan itu selalu menyakitkan.

"Maaf ya, La. Dulu aku nggak ada buat kamu." Dia menarik bahu Laras menjauh, tapi Laras tetap menunduk. "Tapi sekarang aku di sini." Dengan sentuhan lembut, ujung jari telunjuknya menyentuh dagu Laras, gesture agar Laras mengangkat wajahnya. "Kamu nggak sendiri lagi, La."

Tatapan mereka bertemu. Wajah basah Laras meruntuhkan semua pertahanan Angkasa yang sudah rapuh, lapuk dimakan waktu dan kerinduan. Masa lalu berkelebat cepat menyambar masa sekarang. Saat keduanya bertatapan di malam terakhir pertemuan mereka. Saat Angkasa menunggu pertemuan berikutnya sementara Laras sedang mengucapkan kata selamat tinggal.

"Kamu nggak akan sendiri lagi, La. Aku akan selalu ada buat kamu." Berbisik, hanya sejengkal dari wajah Laras.

Jika ini jatuh cinta, maka itulah yang terjadi pada Laras. Dia kembali jatuh cinta pada orang yang sama tanpa pernah merasakan patah hati.

"Ga...."

Angkasa tidak menjawab. Dia hanya mendekatkan wajah mereka untuk mengecup puncak kepala Laras lalu turun ke dahi, turun ke pipi, turun ke rahang, dan bergeser ke samping ke sudut bibir Laras. Mengecup lama di sana. Berhenti lama di sana.

Waktu seakan lupa bergerak. Jantung pun lupa berdetak. Hati tak lagi berderak. Semua menjadi seirama selaras serempak.

***

Tak banyak foto-foto Angkasa di akun sosmednya. Dia jarang membuat status, pun ada, foto yang mengisi status itu bukan fotonya. Foto Nad dan Andrew mendominasi.

Dia harus menyimpannya di gallery dan mengumpulkan dari akun-akun lingkar dalam Angkasa. Hasil koleksi itulah yang sekarang dia lihat. Dia seperti melihat metamorfosis Angkasa. Dia bahkan menemukan satu foto Angkasa berseragam putih abu-abu. Begitu muda, begitu serupa dengan Jagya. Tak ada yang Jagya tinggalkan dari Angkasa. Ketika melihat foto pernikahan Angkasa dan Nana, dia berdiam lama di sana. Melihat mata cinta Angkasa yang menatap Nana. Lelaki ini pernah jatuh cinta begitu dalam pada satu wanita. Oh, tidak, dua wanita. Hanya dua wanita. Bukan tiga. Dia tidak termasuk di dalamnya.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang