205, Pulang

87 28 1
                                    

"Aku nggak serasis itu, Kate."

Jawaban yang membuat Kate tersenyum. Lalu semua kembali senyap kehabisan tajuk bahasan. Keduanya kembali terdiam. Kembali menatap malam yang sudah di puncak gelapnya. Sebentar lagi pagi.

"Kamu mau tidur di sini atau kembali ke kamarmu?" tanya Fabian yang menyadari mereka sudah terlalu lama berdiri berdua saja di malam gelap.

"Aku kembali ke tempatku. Sebentar lagi aku harus bertugas." Kate langsung membalik badan.

"Kate...."

"Ya?" Dia menghentikan langkah dan kembali membalik badan.

"Terima kasih." Fabian tersenyum. "Terima kasih untuk semuanya. Untuk menemani aku. Untuk mengurus Rey. Untuk menerima kami di sini. dan terutama untuk selalu menjadi teman terbaikku."

Kate membalas senyum itu dan mengangguk, lalu dia kembali berbalik dan berjalan ke arah depan. Fabian mengekor bahkan sampai melewati pintu depan.

"Kau mau ke mana?" tanya Kate ketika Fabian terus mengikuti langkahnya.

"Ngantar kamu."

"Tidak usah. Ini rumahku."

Fabian mengangguk dan tersenyum. Dia tahu ada alasan lain selain alasan itu. Dia mengikuti Kate sampai di jalan di depan paviliun lalu berdiri di sana melihat Kate yang berjalan menjauh. Sampai gadis itu menghilang di balik pintu pun dia tetap berdiri mematung di sana.

Ada yang hilang seiring dengan hilangnya bayangan gadis itu. Entah apa. Tapi dia merasa ada yang aneh dengan hatinya.

***

Subuh sebentar lagi datang. Kali ini Fabian benar-benar melamun sendiri. Duduk di kursi ruang tamu tanpa lampu. Kenangan kebersamaannya dengan Kate tanpa bisa dia cegah kembali hadir. Kate yang selalu bisa mengerti dirinya. Kate yang selalu bisa meredakan marahnya.

Kate bisa atau memang dia yang lemah jika berhadapan dengan gadis itu?

Seperti kali ini. Dia kembali menyerah mengalah pada nasibnya. Dia memang memaafkan Rey. Sejak awal Rey melakukan kesalahan dia langsung memaafkan istrinya. Tapi ada yang harus dia lakukan pada perempuannya agar Rey tidak mengulang hal yang sama. Meninggalkan rumah tanpa pamit dan tanpa memberi kabar adalah batas toleransinya. Bukankah sejak awal sudah dia tegaskan urusan ini pada Rey?

Namun Kate benar, lagi-lagi dia benar, Fabian tidak bisa keras pada istrinya. Apalagi ini pertama kali Rey melanggar batas.

Mengingat Rey, Fabian bergerak bangun dan berjalan ke kamar. Rey masih bergelung dalam selimut. Mengendap, tidak mau mengganggu lelap istrinya, dia mendekat lalu duduk di tepi ranjang. Menekuri wajah sembab Rey.

Seharusnya saat ini Rey tidak bisa lagi bersembunyi dengan alasan umur. Dia sudah cukup umur untuk mengambil keputusan di tengah kekalutan. Tapi mengingat apa yang harus mereka hadapi, dia mengerti apa yang Rey rasa. Dan apa yang Kate katakan tadi? Rey pergi untuk menyiapkan diri menemani dia menentang badai.

Itu sesuatu yang manis bukan?

Mengingat itu, dia tersenyum dan bergerak membelai rambut istrinya. Entah Rey yang terlalu sensitif atau memang ini sudah jam bangunnya, perlahan Rey menggeliat. Fabian tidak meninabobokan lagi istrinya. Dia membiarkan Rey menggeliat berusaha membuka mata.

"Morning, Sunshine...." sapanya ketika mata Rey menyipit berusaha mengenalinya.

"Ian...." Dia menjulurkan tangan meminta pelukan pagi. Ketika Fabian mendekat, Rey segera mengalungkan lengannya di leher lelaki itu.

"Kita pulang ya," bisiknya sambil memeluk Rey.

Rey hanya mengeratkan pelukan.

"Sudah siap kan?"

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang