252, Pecah

113 26 6
                                    

"Dari dulu juga sudah selesai." Datar, tapi ternyata tetap ada sakit yang dia rasa.

"Cool, Bro!" Fabian menepuk keras bahu Angkasa.

"Tapi kemarin memang sempat kebablasan. Biar gimana, yang bikin rusuh itu anak kami. Itu juga yang bikin Aurora semaput. Gue yang salah."

Diam.

"Gue pusing banget, Ian. Semua gara-gara gue tapi nggak ada satu pun yang bisa gue kerjain untuk nyelesaiin masalah kita. Jangankan nyelesaiin, yang ada anak gue malah bikin makin rusuh. Gue sudah hopeless banget. Nggak bisa cerita ke siapa-siapa. Cuma bisa cerita ke Laras. Itu yang bikin gue sempat bablas."

"Gue ngerti." Kali ini tepukannya lebih lembut

"Gue harus siapin bodyguard buat Aurora, jangan sampai Jagya ganggu dia."

"Nanti gue cariin. Yang incognito aja. Biar gimana Jagya anak lu." Tristan menjawab.

"Dari tadi kamu sebut Aurora, bukan Olla. Kenapa?"

"Oh iya, gue minta kalian semua jangan panggil dia Olla, La. Panggil dia Aurora atau Aura. Ra."

"Hah?"

"Gue nggak mau dia mikir ketika gue panggil La gue bayangin La, Laras."

"Dia mikir begitu apa memang pernah ada kejadian?"

"Memang pernah ada kejadian. Waktu gue belum kenal Jagya, ketemu dia di cakery shop. Malamnya gue mimpi Laras, gue ngigau sebut La. Aurora pikir gue panggil dia."

"Oh, dia cerita ke gue. Dan gue memang pikir begitu." Fabian menepuk dahi. "Gila, bisa sama begini nick-nya. Oke, oke, gue setuju Olla ganti nick. Aura bagus. Cocok buat dia."

"Deal."

"Jadi lu sudah baik-baik aja sama Aura kan?"

Angkasa menarik napas. "So far sih begitu. Gue sedang usahakan banget-banget." Dia menarik keras rambutnya. "Gue sudah nyakitin dia."

"Gue belum sempat perhatiin dia banget sih. Dan kalian juga dari tadi kayak jauh-jauhan aja."

Angkasa menggeleng. "Sudah mendingan, Ian. Sebelumnya lebih parah. Gue sempat nggak pulang."

"Lu di Laras?" Fabian bertanya dengan mata mendelik.

"Gue nggak segila itu, Ian. Gue cuma di flat. Tapi gue nggak ngabarin Aurora."

"Itu yang bikin dia minta gue lacak lu ada di mana," sambar Tristan.

"Dan setiap lu ngelacak pas banget gue ada di Laras. Jadi kalian mikirnya gue di sana terus. Padahal nggak. Tapi gue nggak bisa jelasin. Kalau gue jelasin, gue harus cerita tentang Jagya. Kalau nggak, kalian cuma akan mikir gue cari-cari alasan ke Laras. Gue sudah drop banget. Semua salah gue. Sudahlah gue nggak bisa cerita, dituduh pula. Ya gue lebih milih diam. Termasuk ke Aurora. Dan ternyata itu salah. Itu bikin dia mikir yang nggak-nggak."

Fabian hanya bisa menepuk bahu Angkasa lalu meremas di sana. Menguatkan.

"Gue nggak nyangka kondisi lu kemarin separah itu, Ang. Gue pikir urusan donor selesai ya sudah."

"Gue yang ambil foto itu, Ian. Gimana gue nggak stres. Gara-gara gue lagi kan tuh. Gue lancang banget masuk kamar kalian. Lalu yang sebarin anak gue. Gue sudah nunggu kapan gue gilanya."

"Tapi sampai gue dipenjara lu nggak gila tuh." Fabian tertawa kecil.

"Gue sudah gila, Ian. Sumpah. Gue dan Jagya lagi yang jadi biang keroknya."

Fabian mengangguk mengerti. Dia sampai memejamkan mata menelusuri jejak beban Angkasa. Dua lelaki lain diam. Termasuk Rey. Sungguh, dia tidak menyangka kakaknya mengalami beban seberat itu.

"Sorry, A. Gue kemarin mikir yang nggak-nggak ke lu." Tristan berkata pelan.

"Gue sudah nggak peduli, Trist. Tapi kalian semua bikin gue lebih tenang tinggalin Rey. Gue nggak bisa sering-sering ke sini. Gue makin gila lihat Rey kayak gitu."

"Iya, Aa jarang ke sini."

Angkasa diam.

"Di titik apa lu ngerasa kondisi berbalik?" tanya Fabian lagi. "Di luar Ben datang ya."

"Gue nggak tau. Gue cuma merasa gue makin jauh dari baik-baik saja. Gue sampai bilang ke Aurora, kalau mau pergi ya pergi aja." Semua tersentak. "Gue nggak layak buat dia. Nggak pede tuh parah banget ya. Asli, gue merasa sudah kayak sampah di hadapan kalian semua. Dan cuma ke Laras gue merasa setara. Mungkin karena sama-sama pendosa."

"Lalu?"

"Gue sudah siap ngelepas semua di sini, gue sudah ngomong ke Laras, dia mau terima gue. Tapi satu titik gue sadar, gue nggak bisa tinggalin Aurora begitu aja. Sebagai cowok gue makin nggak ada harganya."

Jeda.

"Lalu gue keingat Nad. Gimana kalau Aurora itu Nad? Gimana kalau gue jadi ayahnya Aurora? Gue nggak mau Nad dilepehin cowok. Gue pasti sakit banget. Di titik itu gue panik. Gue nggak tau harus gimana. Gue langsung ambil keputusan bahwa gue nggak bisa di sini. Gue harus pergi. Pulang, pasang badan. Terserah gue mau diapain. Tapi Aurora sudah siap pergi. Gue makin panik. Gue aja yang pergi, jangan dia. Tapi gue nggak mungkin pergi tinggalin Nad."

Ruangan itu makin senyap, terlebih ketika penghuni dapur bergabung dengan anak-anak di halaman belakang.

"Di situ Aurora mau terima lu lagi?"

Angkasa mengangguk. "Gue kasih tau semua termasuk soal Jagya biar dia bisa ngerti kenapa gue ngejauhin dia. Gue ajak dia ke flat biar dia tau gue ke mana selama ini."

"Dia bisa ngerti?"

Angkasa mengangguk lagi. "Kalau dia nggak ngertiin kondisi gue dia nggak akan mau terima gue lagi."

Fabian tersenyum.

"Oke. Selain ganti nick dia, kita harus gimana lagi?"

"Gue nggak tau. Semua harus gue sendiri yang ngerjain."

"Sabar aja, Ang. Nanti juga semua kelewat kok. Sekarang kan nyaris semua sudah selesai."

"Lu nggak marah gue begitu?"

"Soal Jagya?" Angkasa mengangguk. "Sudahlah, Ang. Sudah lewat. Apalagi jelas bukan dia pelakunya. Dulu gue marah banget kan karena nggak tau siapa yang ngerjain. Lagian dulu masih panas-panasnya. Mana Rey kabur. Bikin gue makin emosi."

"Gue makin merasa bersalah, makin nggak berani ngomong. Gue kacau banget. Lu terkurung badan, gue terkurung pikiran dan rasa bersalah."

"Ya sudah. Sudah selesai. Kalau lu minta maaf, gue kasih deh. Lebaran dipercepat." Fabian mengulurkan tangan mengajak Angkasa bersalaman. "Sekarang yang penting kita cari kenapa Broto ini dendam banget sama gue." Fabian menutup urusan maaf-memaafkan. "Coba mana file-filenya? Putar videonya. Gue mau serius lihat. Tadi di ruang sidang gue nge-blank gitu. Kemarin gue nggak bisa konsen pas Pak Budi kasih lihat. Dia bilang gue bakal bebas, sudah, gue nggak peduli apa-apa lagi."

Tristan mengambil berkas dari Ben. Termasuk foto-foto terlampir. Foto-foto kehidupan di rumah panggung.

Ari sudah menghubungkan LED layar besar dengan laptop. Layar menyala, video terputar. Wajah Broto dan Manuel terpampang sangat jelas.

.

Prang.

.

Semua terkejut dan menoleh ke sumber suara. Seseorang berdiri kaku dengan tangan masih di posisi memegang sesuatu padahal isi tangannya telah kosong, jatuh berkeping di sekitar kakinya.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang