245, Not Your Hurt

141 30 7
                                    

Angkasa lupa bernapas. Tapi kecupan-kecupan di wajahnya membuatnya tersadar. Ada yang harus dia kerjakan. Meski dia harus mengumpulkan keping-keping hati dan buraian rasa, dia tetap mengerjakan bagiannya.

Dan ketika dia membuka bibirnya, Aurora makin berani. Gayung pun bersambut. Mereka berakhir dengan saling melumat lalu bergelut. Dengan Aurora yang aktif, dia sangat terbantu. Rasa percaya dirinya perlahan membesar membuat dia bisa mengambil alih kendali.

Sepanjang dia bergerak, tatapan mereka tak lekang. Saling membaca dan menembus jauh ke dalam bola mata. Mereka sudah tidak berjeda. Apalagi ketika Aurora mendesahkan namanya. Angkasa menjadi lebih berani.

Tak banyak kata, hanya saling membiarkan berlaku sesuai maunya.

Aurora membiarkan Angkasa mengeksplorasi tubuhnya. Membuka diri bukan untuk menerima, tapi untuk memberi.

Kali ini mereka lebih menyatu, lebih seirama.

Kali ini, keduanya lebih bebas berekspresi. Lebih terbuka dan lebih berani. Sangat berani. Aurora yang baru terkadang mengikut saja tapi dia ikuti sampai ritme dan power. Angkasa seperti mengeluarkan semua yang dia rasa. Jika tadi dia begitu kikuk, sekarang tidak lagi. Dia kembali menjadi dirinya yang bebas di ranjang. Kali ini tentu bersama istrinya.

Sampai keduanya tidak sanggup lagi bertahan, mereka makin bebas mengila. Mengayuh makin cepat, berlari mendaki.

Dan sampailah.

Lagi-lagi Angkasa terpuruk di atas tubuh perempuannya. Kali ini tenaganya benar-benar habis. Menarik selimut dan memosisikan tubuh agar mereka sama-sama nyaman, dia memeluk Aurora.

Tak lama keduanya dilarung mimpi.

***

Entah siapa membangunkan siapa. Tapi keduanya menggeliat nyaris bersamaan. Dua jam tidur yang sangat berkualitas membuat tubuh mereka terasa lebih bugar. Selimut tidak bisa disebut menyelimuti ketika hanya menumpuk di ujung kaki. Keduanya masih berpelukan bertumpang tindih.

Menyadari di mana dia berada, Aurora mengecup dada suaminya bersamaan Angkasa mengecup puncak kepalanya. Ketika dia mendongak dia mendapati senyum lembut di bibir Angkasa.

"Morning, Aurora..."

"Morning, Angkasa..."

Keduanya saling melempar senyum dan memeluk lebih erat lagi.

"Jam berapa sekarang, Aura?"

"Jam empat," jawabnya ketika sudah mendapatkan di dinding mana jam berada. "Jadi nama aku sekarang Aura?" Dia kembali menatap Angkasa.

Angkasa mengangguk. "Kalau Aurora kepanjangan. Auror kayak pemburu dementor. Aura aja. Cocok buat kamu."

"Olla?"

"Aku nggak mau panggil kamu La. Nanti aku mikir La yang lain. Nanti kamu cemburu." Aurora tertawa kecil. "Biar kita bisa gampang bedain siapa yang lagi ada di kepala aku. Kalau itu terjadi, aku minta maaf ya, L—Aura. Move on is bullsh*t. Nggak segampang itu."

Kali ini Aurora tersenyum. Mafhum dan miris.

"Dulu Aa pernah ngigau sebut la, itu La yang bukan Olla?"

"Sebelum Jagya bikin viral?" Aurora mengangguk. "Iya. Aku baru lihat Jagya di cakery shop. Otomatis keingat Laras. Kebawa mimpi," jelasnya sambil mengusap punggung di pelukannya. "Makanya, biar jelas, kita bedain aja. Nanti aku bilang yang lain biar mereka panggil lengkap Aurora atau Aura. Kalau malas, jadi Ra. Asal jangan cadel aja."

Aurora terkekeh. "Itu juga Olla gara-gara aku cadel."

"Nggak ada yang boleh cadel sekarang."

"Anak-anak?"

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang