208, The Period

104 27 1
                                    

Tristan tentu sangat terkejut ketika Non menceritakan kehamilan Dinda. Reaksinya sama, awalnya sangat bahagia lalu terdiam syok. Sangat syok.

"Kamu jangan bilang siapa-siapa dulu ya. Beneran deh. Kalau reaksi Mas Ari nolak, kita akan makin susah."

"Tapi masa Ari nolak anaknya sendiri?"

"Teh Dee cerita, dulu Mas Ari suruh Sophia gugurin kandungannya. Tapi Sophia nggak mau. Dan Mas Ari yakin banget itu yang bikin Sophia meninggal."

"Umur ada yang ngatur."

"Ngomong sana sama orang nggak waras." Suara Non sinis.

Tristan menarik napas panjang. Kenapa masalah seakan tidak mau menjauh dari mereka? Ini musibah atau ujian? Semoga bukan azab. Dia langsung meminta ampun untuk apa pun kesalahan yang pernah dia perbuat. Entah dia sadar tau tidak.

"Kita harus gimana, Non?" tanya Tristan pasrah.

"Kita ikutin dulu maunya Teteh. Sambil mancing-mancing kira-kira respons Mas Ari gimana."

Malam itu keadaan sedikit membaik ketika akhirnya Rey pulang. Satu masalah selesai untuk berhadapan dengan masalah lain. Meski begitu, malam ini mereka bisa sedikit bernapas lega sehingga Non bisa membahas urusan Dinda dan Ari.

"Dunia tuh sering nggak adil ya, Non," ujar Tristan tiba-tiba sambil tetap berdiri menatap langit malam melalui jendela.

Mendengar itu, Non yang sudah duduk bersandar santai di kepala ranjang kembali bersiaga.

"Kita nih, berdua, mau banget punya anak. Dari sisi mental, kita yang paling siap. Aku yakin, dibanding Bang Ian dan Rey, kita lebih siap. Kita sudah biasa banget urus anak. Dibanding sama Nana dan Aa, kita sudah lebih duluan nikah. Lalu sekarang, dibanding sama Ari, jelas beda jauh." Dia membalik badan menghadap Non masih dengan tangan bersedekap. "Tapi sampai sekarang kita nggak dikasih."

Non mendesah, menarik napas panjang. Dia pun seingin Tristan.

"Apa karena kita dulu pernah nunda? Nggak mau punya anak dulu. Aku masih kuliah."

"Apa bedanya sama Bang Ian? Mereka juga tunggu Rey siap."

Tristan mengedikkan bahu lalu berjalan mendekat ke arah Non. "Apa kita belum layak?" Dia duduk di tepi ranjang dengan sebelah kaki tertekuk, utuh menghadap Non.

"Apa karena dulu aku pemakai?" tanyanya lagi.

"Aku nggak tau, Trist. Apalagi kita sudah periksa, dan semua baik-baik aja."

"Bang Ian pernah tanya kamu soal anak?"

Non menggeleng. "Kamu?"

"Nggak. Dia nggak pernah tanya-tanya urusan itu."

"Ternyata dia nggak sereseh itu ya." Non tertawa kecil.

"Soalnya dia tau aku sudah usaha maksimal."

Kali ini tawa kecil Non meledak teredam tangan yang menutup mulutnya.

"Kata Teteh, Ari lebih milih surrogate mother padahal Teteh siap dimadu."

Tristan mendelik dan berkeryit. "Dinda sepasrah itu?"

Non mengangguk. "Dia tau banget kalau Ari mau punya anak. Ari suka anak-anak."

Ketakutan memang sering tidak beralasan. Dan keinginan adalah belenggu kehidupan. Manusia merdeka adalah orang yang terbebas dari keinginan-keinginan. Tapi begitulah, keinginan itulah yang membuat hidup lebih hidup. Membuat dunia bergerak. Membuat manusia berkuasa atas bumi ini. Begitulah semesta bekerja.

***

Di sisi kota yang lain, Ari baru saja menarik napas panjang sambil mengempas tubuh ke sofa. Begitu lelah tapi begitu lega dengan kepulangan Rey yang membuat Fabian lebih bisa diajak berdiskusi.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang