Dinda tidak akan menyerah untuk dua hal yang dia cintai. Dia terus menenangkan Ari meski hatinya sendiri pun berantakan. Dia menggoda Ari, meyakinkan bahwa apa yang tidak sampai sejam lalu mereka lakukan adalah salah satu bukti nyata bahwa mereka baik-baik saja.
"Sayang..." Dinda mengecupi wajah Ari. "Kamu ingat waktu dulu aku bantu kamu?" Tangannya bergerilya di tubuh Ari. "Lalu malam pertama kita di UK." Bibirnya sudah sampai di bibir Ari, berbisik dan mendesah di sana. "Lalu lihat kita sekarang. Kamu bisa bebas ke aku sampai aku bisa hamil."
Kalimat-kalimat itu, entah berguna atau tidak, tapi yang jelas Ari bereaksi. Mungkin berkat godaan Dinda yang intens. Dinda tidak bermaksud menggoda Ari sedalam itu, tapi jika harus terjadi, dia tentu tidak akan menolak.
"Dee..." Mendesah, entah tergoda atau teringat.
"Ada kamu, Sayang. Kamu akan jaga aku kan? Kamu akan jaga kami kan? Jaga aku dan anak kita. Iya kan, Ri?" Dinda tidak peduli desah itu untuk apa. Dia hanya fokus dengan tujuannya. "Kalau perlu aku di ranap sembilan bulan." Ide gila, tapi lebih gila lagi jika Ari bertahan dengan maunya.
Entah Ari mulai relaks atau godaan istrinya begitu menggoda, Ari merasa dia bergairah lagi dan mulai menanggapi Dinda. Ganti dia yang mengecupi wajah istrinya.
"Dee..."
"Ya, Sayang..."
Tapi tiba-tiba Ari menjauh. Membuat Dinda yang mulai menanjak kembali terhempas. Ketika Ari duduk terpuruk menunduk di tepi ranjang, dia tahu, butuh waktu lama untuk menyelesaikan ini. Dan dia butuh bantuan.
Dia meninabobokan Ari. Sisa malam tidurnya tidak nyenyak karena tidur Ari begitu gelisah.
Pagi datang dan tubuh keduanya luluh lantak. Dinda harus memaksa Ari ke kantor dengan alasan Fabian membutuhkan dirinya. Dia berjanji tidak akan melewati ambang pintu kecuali terjadi force major.
Setelah yakin Ari sudah meninggalkan tower, Dinda menyambar ponsel dan melakukan panggilan.
"Ya, Dek."
Suara Fabian terdengar ramah, lembut, tapi tidak terlalu bersemangat seperti biasanya. Dinda harus meneguhkan hati. Dia tahu kakaknya tetap terganggu dengan masalah-masalah itu, tapi dia benar-benar butuh bantuan Fabian.
"Dee?"
"Eh, iya, Kak." Seharusnya Fabian sudah di jalan.
"Ada apa?"
"Kakak di mana?"
"Masih di rumah."
"Nggak ke kantor?"
Fabian mendesah berat. "Ada kelas jam sepuluh."
Ganti Dinda yang mendesah. Dia tahu, sejak kejadian foto viral, mengajar menjadi hal yang memberatkan untuk Fabian. Tapi dia benar-benar butuh bantuan Fabian.
"Dee? Ada apa? Kok kamu ngelamun terus." Fabian meminta sambungan suara menjadi sambungan video. Dee menerima. Melihat wajah Dinda yang berantakan, Fabian langsung siaga satu. "Ada apa, Dek?"
"Maaf ya, Kak. Tapi aku beneran butuh bantuan Kak Ian."
"Kenapa minta maaf? Aku pasti bantu kalau aku bisa."
"Kita lagi banyak masalah."
Fabian mendesah berat. "Iya. Tapi semua harus dijalanin kan?" Dia makin serius menekuri wajah Dinda. "Ada apa?"
"Kak ... aku ... hamil."
Fabian terdiam dengan wajah bodoh ketika dia gagal menghubungkan berita bahagia itu dengan wajah berantakan Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...