Dibantu supir, Angkasa berusaha keluar mobil. Dengan kaki masih terbalut gips dan ketiak menyangga kruk, dia berjalan terpincang melintasi lahan parkir. Dia harus melatih kakinya berjalan tapi tentu harus sangat perlahan. Kakinya yang patah tidak boleh menapak tanah
Kecelakaan itu sudah berlalu sebulan lalu. Kehidupan sudah berjalan normal kecuali kruk dan gips. Dan berjalan terpincang. Dia sudah kembali rutin ke kantor menyusul tiga rekannya yang lain. Di kantor pun dia sudah total aktif seperti sebelum badai datang.
Semua sudah kembali di orbitnya.
Seperti saat ini. Dia mempercepat urusan di kantor untuk menjemput Aurora di kampus. Bukan karena penjagaan ekstra. Tidak ada lagi Broto, Jagya pun sudah jinak. Ini hanya untuk semakin mendekat saja.
Hari menjelang gelap. Matahari sudah begitu lelah di barat bumi. Meski tertatih, tapi Angkasa tetap melangkah tegap. Tubuhnya masih gagah, pesonanya masih mampu membuat pandangan para gadis teralih kepadanya. Sepertinya dia tengah berada di puncak pesona itu. Mengabaikan pandangan dan tatapan itu, dia tetap berjalan lurus untuk menjemput Aurora di kelas.
Di ujung lahan parkir, melintasi taman kecil di depan pintu masuk, dia nyaris bertabrakan dengan seseorang yang matanya menempel di ponsel tapi tetap berjalan tergesa dari arah samping.
Keduanya sempat menghentikan langkah sebelum bertabrakan.
"Papa?"
"Gya?"
Ini pertemuan pertama mereka lepas keluar rumah sakit.
"Mau jemput Nyonya?"
Angkasa mendengus menahan tawa. Lalu mengangguk. Ganti Gya yang mengangguk.
"Biar nggak ada cowok yang gangguin."
Jagya yang mendengus menahan tawa. "Memang Nyonya cerita masih ada yang ganggu?"
"Nggak." Angkasa berdecak. "Tapi dia kan nggak tukang ngadu. Jadi harus pakai waskat. Pengawasan melekat. Biar nggak kecolongan."
"Hah?"
"Kenapa?"
"Lalu tau dari mana kalau Nyonya nggak ngadu?"
"Ya dia nggak cerita. Nggak ngadu. Gimana sih?"
"Nggak. Maksudnya, tau dari mana kalau Nyonya ada yang ganggu padahal nggak ngadu."
"Weitz, namanya suami mah ada aja caranya bisa tau."
"Pret!" Dia memutar mata. "Serius Nyonya nggak ngadu?"
Angkasa menarik napas panjang lalu sedikit bergeser dari jalan ke tepi taman.
"Dia sudah bilang kan? Kamu nggak tau apa yang kami alami kemarin."
"Aku pikir Nyonya akan pergi."
"Itu tujuan kamu?"
Jagya mengedikkan bahu.
"Kamu mau Papa balik ke ibu kamu?" Angkasa bertanya serius. "Ah, nggak ah." Angkasa menggeleng. "Nggak mungkin. Kamu dulu bencinya totalitas banget. Ori. Nggak kaleng-kaleng. Kalau sebenci itu nggak mungkin mau bonyoknya nikah."
Jagya mendengus.
"Papa nggak pernah bisa tebak pikiran kamu, Gya. Kenapa kemarin ngaku kamu yang sebarin foto Ian? Kenapa kemarin gangguin Aurora? Blank."
"Siapa yang ngaku sebarin sih?"
Angkasa memicingkan mata dan berkerut dahi. "Loh, kamu sendiri kan yang ngakuin?"
"Memang aku bilang apa?" tantang Jagya.
"Eh?"
"Papa tanya, 'kamu yang sebarin foto itu?' Gitu kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...