211, Yang Angkasa Butuhkan

102 27 11
                                    

"Kenapa dulu kamu pergi, La?"

Pertanyaan yang sudah terjawab. Itu bukan pertanyaan, itu hanya penyesalan.

Mereka masih di posisi yang sama. Angkasa menengadah seperti hamba, Laras seperti dewi yang kehilangan kata. Belai di rambut dan tatapan sayu itu menenggelamkan Angkasa. Menyeretnya kepada kerinduan yang mendalam pada cinta pertamanya. Rasa itu masih ada. Kepergian Laras tidak menghilangkan cinta itu. Bahkan kehilangan Nana tidak menghapus rindu itu. Apalagi kehadiran Aurora yang hadir bukan dari hati. Semuanya membuat Angkasa lupa diri. Dan tanpa bisa dicegah lagi, dia memeluk pinggang Laras. Benar-benar memeluknya, mengalirkan rindu berpuluh tahun perpisahan.

Pun Laras....

Dia memeluk kepala di perutnya dan menghujani rambut Angkasa dengan kecupan-kecupan.

"I miss you, La." Berbisik. "Really miss you." Lirih.

Kalimat yang membuat Laras makin telanjang. Runtuh dalam kerinduannya.

Senja yang jingga, langit yang biru, awan yang putih. Semua menjadi warna-warni indah bagi dua orang yang sedang melepas rindu. Tidak ada lagi rasa yang mereka sembunyikan. Mereka sudah saling mengungkapkan rasa. Mengulang kisah lama yang ternyata masih meninggalkan jejak meski berpuluh tahun telah berlalu.

Setelah badai perasaan keduanya mereda, Angkasa mendudukkan Laras di kursi di depannya. Wajah perempuan itu penuh air mata yang Angkasa hapus dengan ujung jemari ketika tangannya tetap memeluk tengkuk Laras.

Entah untuk apa air mata itu. Angkasa tidak berani bertanya.

Suara menyambut malam mulai terdengar. Menyadarkan keduanya pada realita yang telah mereka langgar. Memejamkan mata, Angkasa melepas pegangan tangan dari tengkuk Laras.

"Aku pulang, La. Jangan lupa tanyain Jagya."

Laras hanya bisa mengangguk. Ketika Angkasa berjalan, dia mengekor saja sambil menunduk.

"Ga..."

Angkasa berhenti di tengah langkah.

"Titip Gya, Ga. Jangan sampai anak itu ketauan."

Tanpa sadar Angkasa mengangguk.

***

Lagi-lagi Angkasa berakhir di flat sempit. Dia hanya meluruskan badan di ranjang dengan pandangan kosong menembus masa lalu, merasai masa sekarang, dan menerawang masa depan. Urusan ini semakin rumit karena hati sudah terlibat semakin dalam. Ada Fabian sabahat yang sangat dia cintai, ada Jagya anak yang baru dia kenal yang langsung membuatnya jatuh cinta, ada Laras yang tetap membalas cintanya, dan ada Aurora yang seharusnya dia cintai.

Apa cinta memang serumit ini? Cinta-cinta yang dia rasa itu berbeda jenis tapi semua membelitnya sampai sesak. Tidak tahu harus mendahulukan cinta yang mana, tapi ada komitmen yang terabaikan di rumah. Tanpa cinta.

Dan pelukan tadi ... makin membuatnya berantakan. Laras seakan memberikan satu hal yang dia perlukan. Pelukan hangat yang menenangkan dan melindungi. Terlepas itu pelukan rindu yang tersumbat puluhan tahun, tapi pelukan itu melepas satu buhul terikat. Dia merasa lebih baik dengan pelukan itu. Apa dia sekesepian itu?

***

Sore itu, Laras tetap bekerja menggantikan Ibu di warung makan. Mengabaikan rasa, menekan gelisah, dia berusaha fokus sampai waktunya dia bisa pulang. Sampai di rumah, motor Jagya belum ada. Dia akan menunggu anak itu pulang. Kedatangan Angkasa tadi sore dia sembunyikan dari Ibu. Sejak Jagya berulah ritme kerjanya berantakan tapi Ibu mengerti itu. Membuat Ibu diam saja ketika Laras terlambat datang atau bahkan tidak datang sama sekali.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang