227, Satu Kebahagiaan Besar

92 22 32
                                    

Fabian harus kembali ke sel. Itu artinya Rey tidak bisa menjenguk. Melihat Fabian masih begitu lemah, Rey makin meraung.

"Rey ... aku nggak apa-apa kok," hibur Fabian dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di mata yang makin gelap. "Kamu pulang aja ya. Biar bisa istirahat yang benar. Dari kemarin kamu tidur nggak pernah lurus."

"Gimana sih kamu nggak apa-apa," bentak Rey. "Kamu tuh masih sakit. Biasanya tiga hari kamu bedrest."

"Waktu kita ngurus donor Dinda, aku bisa tuh langsung sehat."

"Itu kepepet. Dan sekarang kamu stres. Makin lama sembuhnya. Dan kamu akan makin stres di dalam sana."

"Dulu aku juga stres, Sayang. Gimana nggak stres, telat dikit, Dinda..." Dia tidak berani melanjutkan kalimatnya. "Kamu pulang ya, Rey. Kamu juga capek."

"Tapi aku pulang ke rumah, Ian. Kamu ke sel." Rey kembali meraung. Apalagi ketika waktu berkunjung habis dan Fabian harus kembali ke sel.

Dia kembali tak sadarkan diri.

***

Rey merasa tubuhnya begitu lemah. Sangat-sangat kelelahan sampai dia harus dipapah ke kamar. Di kamar, Non langsung mengambil alih.

"Teteh lapar?" tanya Non ketika melihat Rey memegang perut. Rey menggeleng. "Teteh makannya dikit banget loh." Itu pun jika mengacak-acak isi piring lalu menyuapnya sedikit bisa disebut makan.

"Aku masuk angin kali ya, Non."

"Paksa makan ya, Teh."

"Mual," ujarnya sambil berusaha bergerak.

"Mau ke mana?" Non sigap berdiri. "Mau muntah?"

"Pipis."

Lepas menemani Rey ke kamar mandi, Non meminta asisten rumah membuatkan sup panas dan menyiapkan wadah muntah.

"Badan Teteh nggak panas kok." Non memeriksa dengan punggung tangan. "Pusing nggak, Teh?"

"Nggak terlalu. Cuma nggak nyaman aja."

"Apa Teteh mau mens?"

"Astaga!" Tubuhnya langsung tegang. "Aku sudah terlambat, Non."

Non ikut tegang. Berdua langsung sigap memeriksa dan diperiksa.

"Aku lupa banget." Rey panik. Dia langsung memeluk perut, menjaga. Non sudah meraba bagian bawah perut Rey. "Nge-blank gitu. Padahal dada aku penuh banget dari beberapa hari ini."

"Ya mungkin karena Teteh kira mau mens."

Rey makin panik. "Padahal Ian sudah ngingetin. Biar aku jaga-jaga badan. Tapi aku panik banget sampai lupa urusan haid, malah lupa jaga badan."

"Semua panik, Teh. Apalagi Teteh." Non berusaha menenangkan. "Teteh ngerasa sering pipis nggak?"

"Iya."

"Kita pakai test pack dulu ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Non langsung keluar dan menyuruh Tristan membeli alat itu. Tubuh lelaki itu mendadak menegang.

Jeda tidak sampai satu jam, seorang asisten masuk membawa nampan berisi pesanan Non dan test pack.

Ditemani Non mereka menunggu hasil. Dan ketika garis kedua muncul, airmata keduanya langsung menetes. Rey tidak bisa menahan isak. Dia menangis di pelukan Non.

Sebuah kebahagiaan besar di tengah lautan duka.

"Kami nunggu anak ini, Non." Suara Rey seperti mencicit di tengah isak. Dia terus membelai perutnya.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang