242, Mark Me

122 26 11
                                    

"No, Aurora..." Angkasa makin panik. "Jangan nangis. Aku minta maaf." Kembali dia memuja tubuh istrinya. Mengecup dan menyesap sembarang.

Angkasa berusaha tetap waras.

"Aurora, let me in, please." Angkasa makin memohon. Dia memaksa Aurora menyentuh tubuhnya yang masih utuh berbaju. Tapi kediaman Aurora menakutinya. Tangan itu tidak bergerak membuka kancing demi kancing kemeja kerjanya. Angkasa terpaksa membuka sendiri kancing-kancing itu, melempar asal kemejanya lalu lanjut melepas lapis demi lapis pakaiannya sampai keduanya seimbang. Sama-sama polos.

Aurora benar-benar membuatnya gila. Kesendiriannya membuat dia tidak pernah menyentuh wanita sama sekali dan ekspresi Aurora sangat tidak membantu. Ini menyiksa keduanya, tapi Angkasa tidak ada ide lain untuk menyatukan mereka lebih nyata, untuk menahan Aurora tetap di sisinya.

Dia benar-benar berjuang sangat keras. Untuk membangkitkan gairahnya sendiri, dan untuk membangunkan hasrat istrinya. Dia terus menggoda Aurora sampai hasrat gadis itu mengambil alih semuanya. Meski tubuh Aurora mulai bereaksi, Angkasa tetap berusaha tidak menyakiti gadis itu di pengalaman pertamanya.

"Aurora..." Mendesis, dia pun sudah sangat siap. "Please, let me in."

Namun Aurora tidak pernah menjawab. Hanya airmatanya yang berteriak, membuat Angkasa kembali mundur, kembali hanya memuja tubuh istrinya.

Aurora merasa jiwanya terengut paksa. Sakitnya begitu sakit. Angkasa mendatanginya dengan cara sebrutal ini. Dia ingin menolak, ingin berontak, tapi jiwanya yang sudah terengut paksa tidak bisa membuat tubuhnya menolak. Dan godaan itu membuat semuanya makin berantakan. Saat hatinya sakit, tapi tubuhnya menginginkan kedekatan ini.

Mungkinkah ini cinta?

Rasa itu tentu masih ada dan rasa itulah yang membuatnya tidak bertenaga mendorong Angkasa sampai terpental ke Neptunus.

"Aku harus ngapain biar kamu yakin aku nggak mau kamu pergi, Aurora?" Angkasa terengah di atas istrinya. Putus asa dengan ekspresi Aurora. "Selama ini aku nggak sentuh kamu cuma biar kamu tetap utuh kalau kamu memilih pergi. Tapi sekarang aku mau kamu nggak pergi. Jangan pergi, Aurora. Please, stay with me." Jika dia bisa menangis, dia akan menangis memohon. Tapi percayalah, sesakit apa pun yang dia rasa, airmatanya tidak pernah bisa keluar.

"Kemarin aku pikir akan baik untuk kamu kalau kamu tetap utuh. Aku jaga itu. Sekarang, aku akan rusakin semua biar kamu nggak bisa lepas dari aku." Terengah, dia kembali mengecupi wajah Aurora. "Please let me in, Aurora. I don't wanna rape you."

Aurora tetap tanpa ekspresi.

Ini tidak akan berhasil.

Angkasa menarik diri. Dia membantu Aurora duduk lalu menyambar kemejanya untuk menutupi tubuh telanjang istrinya. Dia menyambar celana dalam untuk dirinya sendiri. Membiarkan dua mereka sekacau itu lalu duduk di samping istrinya.

"Apa yang kamu mau, Aurora?" bisiknya lirih.

Diam.

Senyap tak akan beranjak dari sana ketika suara yang terdengar hanya tarikan napas dan bisikan-bisikan lemah tersisipi isak lemah. Seakan malam tak bisa menambah kegelapan hari dan kesunyian hati, angin yang malas bertiup menambah sunyi ini. Angin pun diam, ingin mencuri dengar gerangan apa pinta perempuan tegar di depan lelaki lemah. Tak ada suara, tanpa gerakan. Semua menunggu.

"Ask me to stay. Please."

Sekuat apa pun wanita itu, dia akan melemah ketika harus meminta itu. Kelemahan yang terdengar kuat di getar suaranya yang membisik.

"I did it, Aurora. I did." Bingung, karena sejak tadi itu yang dia katakan.

"Ask me to stay for you, not for other."

Jadikan aku istrimu, bukan hanya ibu bagi anakmu.

Angkasa menarik napas lalu lupa bernapas. "I won't." Lirih. "I won't ask you to do that." Wajahnya merana ketika dia bergerak pelan, berdiri tepat di hadapan wanitanya.

"A..." Tercekat, Aurora tak bisa berkata lagi. Seakan senyap menghisap semua nyawa yang dia punya. Tak ada lagi harapan. Walau cinta itu hadir tersendat, tapi rasanya tetap sesakit ini. Dan semakin sakit ketika mengingat semua yang sudah dia lewati. Sementara dia sudah jatuh cinta utuh kepada lelaki di depannya ini tapi lelaki itu hanya butuh dia untuk menjadi ibu anaknya.

"I'm begging you," Angkasa jatuh berlutut di hadapan istrinya. "I'm begging you to stay here ... with me ... for me ... only for me.... Be mine ... please." Lirih dengan mata yang memohon.

Detik berlalu dengan saling menatap ke kekosongan di hadapan mereka masing-masing. Mengukur jarak yang terbentang di antara desah resah embusan napas tercekat. Seakan semua membeku bersama waktu yang terperangah, kelu mendengar sebuah permohonan.

Tapi dia tak bisa lama menatap bening bola mata yang semakin nyata berkabut itu. Perlahan dia meluruh. Masih tetap bersimpuh, tapi tubuhnya tak lagi tegak. Menunduk dan merunduk dan sebelah tangan jatuh menopang tubuhnya. Sebelah lagi memegang jantungnya yang semakin terasa nyeri. Kepalanya menunduk menatap lantai.

"Mungkin akan lebih baik jika kamu pergi. Aku akan lebih bahagia jika kamu menyerah. Aku bisa kembali ke cinta lama aku."

Isak mulai terdengar dari hidung Aurora. Dia yang tadi bisa berdiri tegak, sekarang mulai merunduk dengan bahu bergetar hebat. Terpuruk di kakinya.

"Tapi aku nggak bisa begitu, Aurora." Kali ini, suara bergetar itu nyata meneriakkan keputusasaannya. "Maaf kalau aku jujur seperti ini. Mungkin ini menyakitkan untuk kamu. Tapi aku ingin kita memulai lagi semuanya dari awal dengan kejujuran. Lalu kita bisa mulai melangkah bersama."

Aurora makin menunduk, tetap berusaha menyembunyikan isak. Bahunya bergetar hebat.

"Aku memang cinta dia. Aku bertahan dengan pernikahan kita cuma karena kita sudah menikah. Ayah sudah percayakan kamu ke aku. Aku sayang kamu, tapi aku tidak cinta kamu. Aku cinta dia, Aurora."

Apa hati bisa berbohong?

Saat kepala bisa mengatur apa yang harus bibir ucapkan, apa kepala pun bisa mengatur apa yang harus hati rasakan?

Sampai bibirnya berdarah pun Aurora tak berhenti menggigit bibirnya.

"That's the truth. But now ... I'm begging you to stay here ... for me. Be mine, Aurora. Please." Kali ini, dia berusaha menegakkan kepala. "Only for ... me."

"A..." Hanya itu yang Aurora bisa ucapkan ketika dia terus menggigit bibirnya.

"Temani aku. Aku akan belajar mencintai kamu."

Dan meledaklah.

Aurora bukan lagi terisak. Dia menangis yang benar-benar menangis. Dia melemparkan tubuhnya ke Angkasa yang masih berlutut di bawahnya. Dia menangis sambil memeluk Angkasa. Angkasa tentu membalas pelukan itu.

Waktu membiarkan mereka seperti itu sampai puas. Sampai tangis gadis itu menjadi isak, isaknya menjadi sedan. Angkasa baru menarik bahu Aurora menjauh. Kali ini dia bisa melihat wajah basah di depannya. Tangannya bergerak menghapus sisa air di pipi.

"Tandai aku, Aurora," bisiknya.

Aurora mendongak tak mengerti.

"Tandai aku." Dia mengelus pipi Aurora dengan punggung jari. "Mark me, so I'm yours."

Aurora masih tidak mengerti. Bagaimana caranya menandai lelaki yang sudah begitu banyak jejak perempuan di tubuhnya. Mengerti kebingungan istrinya, Angkasa mengambil tangan Aurora lalu meletakkan tangan itu di dada telanjangnya.

"Mark me here. Only a few woman here. Mark me. Fill it with all of you. Your love, your care, your body. Get rid of the others. So only you stay here. Make me yours so I'm yours."

Jika menangis bisa membalas kalimat itu, maka itulah yang Aurora lakukan. Airmatanya kembali jatuh.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang