241, Let Me In

144 27 16
                                    

Berjalan gontai, menembus temaran ruang menjelang tengah malam, Aurora sudah di kamar lagi.

Hanya sesingkat ini pernikahannya. Hanya sekejap ini dia merasakan jatuh cinta. Ah, sudahlah, akhiri saja semua yang memang harus berakhir. Daripada nanti akan semakin menyakitkan. Dia tidak bisa membayangkan jika Angkasa mendua. Dia hanya akan menjadi pengasuh anak, tak dianggap istri. Siapalah dia. Dia sudah sangat tidak percaya diri menghadapi label yang melekat pada Angkasa. Lelaki itu akan semakin melangit mengangkasa sementara dia tetap berada di kutub terjauh bumi. Sendiri.

Dia berdiri di tengah kamar di dekat tas-tasnya. Dia sudah meraih sling bag untuk bersiap pergi, bermaksud mengambil ponsel untuk memesan taksi online. Pesanan pertama hanya berputar mencari mobil. Sampai dibatalkan otomatis. Mendesah, Aurora hanya berpikir, mungkin semua pengemudi memilih tidur bersama pasangannya. Pikiran itu makin menyakiti hati. Dia bermaksud mencoba lagi, tapi notifikasi yang masuk mengganggu konsentrasinya. Dari nomor tidak terdata.

Tanpa nyawa dia membuka aplikasi berkirim pesan. Pesan teratas dari nomor yang sama.

Jagya.

Mau apa lagi dia?

Tidak ada yang perlu dipertahankan, masih tanpa nyawa dia membuka pesan itu. Lagi-lagi sebuah video. Setelah beberapa detik berlalu untuk mengunduh video, Aurora bisa melihat isinya.

Seperti yang sudah dia duga. Video Angkasa dan Laras masih dengan pakaian yang sama. Tak sampai sejam lebih awal dari sekarang.

Awalnya hanya terlihat seperti orang yang bercakap-cakap santai, tapi makin lama kedekatan itu makin tak berjarak. Sampai di titik mereka begitu dekat....

***

Angkasa mengemudi seperti kesetanan. Wajahnya kaku dan tegang. Berkali-kali dia meneguhkan tekat untuk kembali ke rumah, menahan godaan terpuruk sendiri di ketinggian flat. Mungkin kalau dia berpikiran untuk bunuh diri, tempat itu sangat ideal. Namun dia tidak segila itu.

Hampir tengah malam, tapi jalan masih cukup ramai. Meski begitu dia tetap bisa melaju menguasai jalan. Fokus hanya ke tujuan sambil membayangkan Nad dan karma yang mungkin akan berbalik menghancurkan dia dan anak-anaknya.

Baik atau buruk, semua akan kembali kepada para pelaku.

Aku tidak mau menjadi ayah yang anak gadis kesayang-annya diduakan oleh suaminya tanpa dipersiapkan sebelum-nya. Aku tidak akan bisa adil pada Olla dan Laras. Aku akan menyakiti Olla. Aku tidak mau Nad sakit!

Rumah sudah gelap ketika dia sampai. Hanya seorang asisten rumah yang membukakan pintu yang menyambutnya.

"Nad mana?"

"Di kamarnya, Pak."

"Ibu?"

"Baru aja ke kamar dari kamar Nad."

Dia langsung ke kamar dan mendapati pemandangan yang membuatnya limbung.

Istrinya berdiri bersama tiga tas di tengah kamar. Tangannya masih memegang ponsel ketika pandangan mereka bertemu.

"La...." Dia berjalan mendekat sangat pelan. "Kamu mau ke mana?" Aurora sudah dalam jangkauan tangannya tapi melihat pemandangan di depannya, dia tidak berani menyentuh istrinya.

"La...."

Aurora menabahkan hati.

"Maaf, A. Olla pamit aja."

"La..." Berkedip, dia mengibas di angan, menghilangkan bayangan pemilik lain panggilan itu. "Aurora..."

"Maaf Olla nggak bisa ngurus Nad lagi. Maaf banget, A."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang