250, At Home

104 26 5
                                    

Yang pertama menyambut Fabian tentu si dikotil. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada papanya. Mereka hanya tahu ayahnya pergi bekerja jauh di luar negeri sehingga lama tidak pulang. Mereka menatap keheranan dengan keriuhan yang datang bersama Fabian. Lengkap semua termasuk orangtua.

Ada apa ini?

Mungkin itu yang melintas di benak lugu mereka. Belum lagi Mama Dee dan Mama Nia yang menyambut dengan tangis membuat bocah-bocah itu makin heran. Tapi sudahlah, anak-anak itu tidak banyak menuntut jawaban. Bagi mereka, yang penting Papa Ian pulang. Lepas sambutan ala Bumi, Tari, dan Nad, tiga bocah itu kembali bermain.

"Gue mau mandi dulu," ujar Fabian ketika mereka mengarahkannya ke ruang tengah.

"Buang sial?" tanya Angkasa sambil melirik sinis.

Fabian terkekeh. "Nanti gue kasih sempak gue. Lu buang di Ancol."

"Buang sampah sembarangan. Makin tercemar tuh laut."

"Makan dulu sih, Bang," sambar Tristan. "Nanti aja mandinya."

"Nggak. Gue mau mandi dulu. Mandi di dalam teu puguh. Gue sudah sikat sampai pegel, tetap aja kamar mandi di sana kotor." Dia setengah berteriak sambil berjalan menaiki tangga. "Mana panas, kalau nggak mandi pingsan semua. Bikin repot bagian kesehatan." Dia terkekeh tanpa beban.

Semua diam terlebih ketika Fabian menghilang di balik pintu bersama Rey.

"Pengin berenang sih," ujarnya pada Rey sambil membuka baju. "Tapi pengin ngobrol juga." Rey mengambil baju kotor dari tangan Fabian sambil menatap penuh rasa sesal ke arah suaminya. Membuat Fabian melepas saja celananya ke lantai.

"Sayang ... aku sudah pulang, Rey. Nggak usah dipikirin lagi." Dia memeluk, berusaha menenangkan istrinya.

"Tapi anak kita pergi, Ian..." Merintih perih.

"Shh..." Dia memeluk makin erat. "Kita sudah punya anak di surga. Biar dia siapin dulu rumah untuk kita. Biar dia yang sambut kita di sana."

Alangkah indahnya penghiburan yang Pencipta berikan untuk hambaNya. Dia terlalu baik untuk memberikan takdir buruk pada ciptaanNya, milikNya.

"Rey nggak bisa jaga diri."

"Jangan ngomong gitu terus. Aku tau kamu sudah berusaha. Tapi memang kondisi crowded banget. Aku aja sampai lupa urusan itu jadi lupa ngewanti-wanti kamu."

Beginilah nasib menjadi lelaki. Saat dirinya sudah begitu jatuh dia tetap dituntut untuk tegar dan menegarkan. Untuk kuat dan menguatkan.

"Rey sedih...."

"Kamu nggak perlu tau kayak apa aku di dalam, Rey." Dia mendesah dan mengistirahatkan kepala lelahnya di atas kepala Rey. "Aku cuma bertahan nggak sampai roboh lagi. Nggak mau bikin semua heboh, panik, dan repot. Apalagi kamu juga harus dirawat. Aku kasihan lihat Ari. Kamu nggak lihat dia kurusan? Dia sibuk urusin semua. Ya aku, ya Dinda, kamu, kantor. Semua dia yang urus. Gimana kalau aku sakit lagi?"

Rey masih terisak.

"Rey ... kamu yang kuat ya. Aku juga pengin ambruk nih. Capek juga jadi suami siaga sok tegar. Tapi kalau kamu masih gini yang ada aku dilempar ke Ari lagi. Nggak mau. Aku mau kamu yang urusin aku."

Rey mendongak.

"Ian capek?"

"Semua capek. Tapi kamu jangan mikir macam-macam."

Rey menatap makin dalam.

"Jangan lihat aku kayak gitu. Nanti proses penciptaan adeknya Bumi aku percepat loh. Selama di dalam produksi melambat saking stresnya, tapi pas tau aku bakal bebas, produksi normal lagi."

"IAN!"

"Mandiin aku ya, Rey?" Berbisik, menggoda.

Rey tahu apa yang akan terjadi jika dia mengiyakan permintaan suaminya. Tapi dia tetap mengangguk.

Biarlah.

Mereka sudah terlalu lama merindu. Biarlah yang di bawah menunggu di ruang tengah sambil berkali-kali melongok ke atas. Mereka sudah tahu apa yang sedang terjadi di atas ketika dua orang itu begitu lama di kamar.

Biarlah.

Semua mengerti. Bahkan para orangtua pun mengerti. Mereka pun pernah muda.

***

Dua orang itu turun berangkulan. Sangat jelas bahwa bukan hanya Fabian yang sudah mandi. Membuat yang menunggu di bawah mendesah, berdecak, memutar mata, tertawa kecil, tersenyum malu-malu, dan segala bentuk ekspresi mengerti.

"Sudah, Bang?" tanya Tristan cepat.

"Sudah. Yang penting dapat dulu, masih ada nanti," jawab Fabian yang berhadiah lemparan bantal dari Angkasa. Aurora mendelik melihat kebarbaran itu.

"Ayo makan dulu." Tim DamPar, Tim Pemadam Kelaparan, terdiri dari Non, Nia, Mami, dan Mama sudah menyiapkan banyak hidangan.

"Wah, iya. Di dalam makanannya nggak enak." Fabian langsung membelokkan langkah. "Nasinya keras. Pera bener." Dia memang tertawa-tawa kecil, tapi malah membuat yang lain makin sedih. Apalagi Mami yang sampai berhenti merapikan meja.

"Kamu dari kecil nggak pernah suka nasi keras, Ian." Fabian langsung merengkuh Mami dan mengelus punggungnya dengan tekanan keras.

"Dulu ngambek, sekarang ya masa ngambek juga. Apalagi di dalam nggak ada pilihan. Daripada sakit ya telan aja. Dorong pakai air. Nggak usah dirasa-rasa."

"Kamu ingat waktu Papi pulang lihat kamu ngamuk-ngamuk nggak mau makan?"

Fabian mengangguk dan tersenyum lembut pada ibunya. Yang lain diam. Yang dulu membantu Fabian mengurus pengembalian dana yang Ben ambil pasti tahu cerita ini.

"Kata Mami dulu karena harga obat Ari naik, jadi Mami nggak ada lebihan buat beli beras. Cuma ada beras jatah dari kantor Papi."

"Iya." Mata Mami mulai merembes.

"Sekarang, sakpabrik-pabriknya bisa aku beli tapi tetap aja tuh aku harus makan nasi pera." Fabian menenangkan Mami. "Ada aja jalannya orang diuji, Mi. Nggak usah sedih. Aku sudah pulang kan."

Ganti Mami memeluk anaknya.

"Mungkin dulu itu aku disiapin untuk siap tinggal di penjara. Yang pasti, karena aku biasa kerja kerjaan rumah, aku nggak kaget-kaget amat pas harus bersih-bersih di sana. Apalagi di sana parah banget kondisinya."

"Kotor banget?"

"Pokoknya rajin-rajin bebersih aja deh biar nggak gatal-gatal." Dia terkekeh lagi. "Asal mau mandi bersihin kamar mandi dulu. Ganti air baru. Air sudah penuh, eh, yang lain nyelonong masuk duluan. Tapi kalau pakai yang kedua sih masih mending-lah."

"Ih, sudah sih, Ian. Baru keluar cerita yang kayak gitu, nyesek tau," protes Rey.

Fabian lagi-lagi terkekeh. "Ini aku ceritanya sambil ketawa-ketawa loh. Gimana kalau aku nangis-nangis kayak kamu tadi? Bikin yang lain pikirannya traveling ke mana-mana aja kita lama di atas."

"IAN!"

"Papi bangga dengar pengalaman kamu." Suara bariton itu membuat suasana mendadak hening. "Pengalaman kamu di sana pengalaman normal kehidupan di dalam penjara. Kalau kamu dapat fasilitas istimewa sampai tidak merasakan susah, artinya kamu ada main sama hukum."

Semua diam.

"Aku nggak berharap ada yang ngalamin apa yang aku alami kemarin. Tapi boleh dong aku bangga, aku bisa lewatin itu semua meski sempat mampir di rumah sakit. Tapi aku akan tetap di sana kalau nggak ada kalian. Untuk itu, terima kasih banyak. I'm nothing without all of you."

Jeda.

"Sekarang, mari kita makan. Aku lapar."

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang