254, Yang Tidak Terduga

115 27 7
                                    

Fabian tidak mengizinkan siapa pun meninggalkan rumah. Baginya lebih mudah saling menjaga ketika mereka berdekatan. Jadilah mereka mengatur sendiri kamar untuk mereka pakai. Enam pasang suami istri, tiga anak kecil, dan satu single. Bumi dan Tari langsung Fabian tarik ke kamarnya. Dia mempersilakan sendiri DeeAri dan TristaNon mengatur posisi tidur di kamar anak. Sementara kamar tamu di bawah, yang dulu menjadi kamar Ari dan Angkasa dipakai para orangtua.

Dia menempatkan Angkasa dan Aurora di kamar Rey dengan pertimbangan Nad. Mereka bertiga butuh tempat yang lebih luas daripada pasangan tanpa anak. Meski akhirnya Non memilih menjaga Nia. Ari tentu menolak permintaan Dee untuk menemani Non dan Nia.

Hari itu memang hari yang membahagiakan karena Fabian sudah ada di antara mereka lagi, tapi fakta-fakta baru yang terungkap membuat ketegangan makin meregang kencang. Jika makan siang diisi dengan tawa dan senda gurau, maka malam malam diisi keheningan. Tim DamPar pun malas mengolah rasa. Mereka berakhir dengan mi instan dan layanan pesan antar plus makanan sisa tadi siang.

"Kalian tidur deh. Sudah malam." Mereka sudah selesai makan malam sejak tadi. Namun sekeliling mereka masih berantakan. Semua asisten rumah, melihat mereka tegang memilih menjauh. Hanya bersiap, jika ada perintah baru mereka mendekat.

"Nggak bisa tidur," erang Tristan.

"Minta obat sana sama Non."

"Minta kelonin aja."

"Ya sudah, sana ke kamar. Tidur. Kita semua butuh istirahat yang bagus. Besok nggak tau ada kejadian apa lagi."

Kali ini Rey yang mengerang jengah dan lelah.

"Trist, sudah dapat bodyguard?"

"Besok mereka ke sini. Kita bisa ke kantor."

"Kalian, Ladies, nggak boleh tinggalin rumah." Fabian menatap perempuan-perempuan itu satu per satu. "Aura, kamu ada yang ikutin ya. Incognito. Jagya nggak ada apa-apanya dibanding Broto."

Aurora mengangguk takut-takut.

"Apa kalian juga dikawal?" tanya Rey.

Tristan mengangguk. "Ben sudah tinggalin Broto. Kita nggak pernah tau rencana Broto apa. Jaga-jaga aja."

Pestanya bubar.

***

Semua masuk ke kamar masing-masing dengan pikiran bercabang-cabang. Melangkah gontai, kepala penuh dengan hal yang menakutkan.

Kau akan diuji sesuai ketakutanmu.

Tapi mereka tidak pernah membayangkan ada psikopat [?] mengintai. Ini di atas batas ketakutan mereka sampai tidak terbayangkan.

Angkasa membanting bokong di tepi ranjang. Duduk tercenung dengan tubuh lemah membungkuk.

"A..." Aurora mendekat.

"Kamu harus lebih hati-hati, Aura." Aurora mengangguk. "Kalau bisa bolos ya bolos aja. Tapi sampai kapan? Sementara Nia yang nggak pernah keluar rumah aja kelacak."

"Aku nggak tau apa-apa, A."

"Jangankan kamu, semua di sini nggak tau apa-apa. Bahkan kebakaran sudah delapan tahun lalu aja kita baru tau sekarang. Dan bisa-bisanya kita nuduh bapaknya Tristan yang ngerjain anaknya. Untung Fabian masih waras. Kalau mau bunuh anak, mending pas masih janin biar lebih gampang. Jadi kita nggak nyumpahin dan nyukurin orang mati."

Dia menarik napas panjang.

"Meski menyangkal tapi pas papanya Tristan meninggal ya kayak berasa tenang gitu. Dan memang setelahnya nggak ada kejadian aneh-aneh lagi. Kita sudah lupa soal kebakaran, penculikan, dan penembakan itu."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang