207, Pernyataan Resmi

108 29 2
                                    

Sampai di rumah mereka disambut Nia dan Angkasa. Nia langsung menggiring semua ke meja makan. Wajah sembab Rey tidak bisa serta merta hilang. Tidak ada yang menuntut Rey bercerita, semua makan seperti biasa seakan mereka tidak sedang dalam masalah besar.

Ketika Angkasa datang, Rey melirik sinis ke arah Angkasa, membuat kakaknya makin salah tingkah.

"Ada kabar terbaru nggak, Ang?" tanya Fabian sambil menguap. Lelahnya makin sulit disembunyikan. Angkasa menggeleng lemah tak berani bersuara dan menatap Fabian.

"Gue harus gimana? Bisa nggak gue ngomong di sosmed aja? Malas gue harus kumpulin banyak orang cuma urusan ginian aja."

"Mungkin baiknya seperti itu saja. Itu foto, bukan video. Dan tidak ada alat vital terlihat, hanya sangat terbuka." Ari bersuara. "Semoga kalau kamu cepat akui urusan tidak terlalu berbelit-belit. Serahkan ke polisi, biar polisi yang urus."

"Apa? Pencemaran nama baik? Gue malah kena UU ITE tentang pornoaksi."

"Lapor dulu saja. Lebih baik lapor daripada dipanggil. Tunjukkan itikad baik bahwa kamu kooperatif. Semoga bisa membantu."

"Jangan lupa, bukan Abang yang sebarin foto itu." Tristan bersuara.

"Yang sudah-sudah juga bukan pelaku yang sebarin, tetap aja jadi kasus lalu jadi tersangka, minimal wajib lapor."

"Kalian pasangan resmi dan sah. Seharusnya itu sangat membantu. Tanggal di foto sangat jelas setelah kalian menikah. Yang sebelum-sebelumnya bukan pasangan resmi dan sah. Mereka pezina. Kalian tidak."

"So?"

"Kita lapor polisi lalu buat video pernyataan."

"Harus sekarang?" Rey kembali mengiba.

"Lebih cepat lebih baik. Biar semua segera diurus dan segera selesai."

"Besok aja bisa nggak? Rey belum ketemu anak-anak. Di mana mereka?"

"Sama Olla," jawab Angkasa cepat. "Kamu mau ke sana apa mereka ke sini?"

"Mereka aja deh yang ke sini. Rey capek banget. Besok mereka harus tetap sekolah."

Angkasa langsung menghubungi istrinya. Menunggu dua anak itu datang, Rey merebahkan diri di sofa ruang tengah berbantalkan pangkuan Fabian. Dia masih rindu, dan penerimaaan Fabian atas ulahnya membuat dia bisa lebih tenang.

***

"Bang, Teh, pulang yuk." Begitu sambungan terputus Aurora langsung mencari dua anak itu dan mengajaknya pulang.

"Malas ah, Bu. Di rumah nggak ada Mama. Papa juga kemarin pergi."

"Papa pergi ke mana?"

"Jemput Mama."

"Nah, sekarang Papa dan Mama sudah di rumah. Mau ketemu Abang dan Teteh."

"Beneran, Bu?" Mata Tari bercahaya.

"Masa Ibu bohong? Nanti hidung Ibu panjang kayak pinokio deh."

"Tapi Nad ikut ya, Bu."

"Nad nggak ikut, kan Nad sekolah."

"Hah?" Terheran.

"Kenapa?" Bertanya.

"Yah..." Kecewa.

"Mau ketemu Mama nggak? Nanti Mama keburu pergi lagi loh." Aurora mengacaukan pikiran mereka.

"Mauuu...." Dua bocah itu bersuara bersamaan dan mengangguk pun bersamaan.

"Bang Bumi sama Teh Tari ke mobil dulu ya." Aurora langsung berjongkok di hadapan Nad merayu dengan modal janji Angkasa.

Tentu lebih mudah membubarkan pesta dengan dua alasan itu. Bumi dan Tari langsung berlarian ke mobil. Hanya Nad yang sedikit mengamuk apalagi dia tahu bahwa ibunya ikut mengantar sepupunya. Tapi Aurora sudah menyiapkan itu.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang