235, Eksekusi

82 23 8
                                    

Lelaki itu menunjukkan ponsel pada petugas keamanan yang berjaga. Petugas itu membaca cepat. Dia yakin pesan yang dia baca berasal dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dia pun mengenali si pembawa pesan. Tak butuh waktu lama untuk dia mengizinkan lelaki itu masuk.

Hari sudah malam, sudah tidak ada lagi yang bekerja di hari selarut itu. Yang ada sisa petugas penjaga keamanan dan dia. Tak ada yang perlu ditakutkan ketika dia berjalan sendirian. Di selasar, di lift, bahkan ketika memasuki satu ruang besar.

Dia sendirian saja di sana. Dengan jantung berdebar dia mulai bekerja. Awalnya dia bekerja sesuai perintah di pesan itu. Setelah tugas itu selesai, dengan jantung berderap dia menjalankan misinya. Demi keamanan, dia mengunci pintu dan mematikan CCTV. Dia sendirian dan dia bebas.

Dia mulai mengutak atik data. Mencari. Semua berkas yang kira-kira dia butuhkan langsung dia ambil. Lalu dia mulai mencari hard copy di laci dan lemari. Dia menyisir semua tempat. Dia bahkan berusaha menembus brankas. Tapi gagal. Dia memang bukan pencuri. Dia hanya terpaksa mencuri. Untuk satu hal yang dia harap bisa sebagai pembayar dosa.

***

Aurora menggeliat terbangun. Dia terkejut mendapati dirinya masih di sofa. Mendesah berat, ternyata dia jatuh tertidur. Desahnya makin keras ketika dia melirik waktu di dinding. Sudah subuh dan Angkasa belum pulang. Menyadari itu, dayanya langsung turun meski hari baru dimulai.

Lepas sholat subuh, masih terlalu pagi untuk mengurus Nad, dia kembali duduk di sofa. Dia mengambil ponsel dan mengecek chat dengan Angkasa. Masih tetap belum terbaca. Dia memerosotkan tubuh sampai setengah tidur. Entah apa maunya lelaki itu.

Oh!

Aurora tersentak sampai duduknya kembali tegak. Wajahnya menegang ketika dia merasa jantungnya tidak berdetak.

Apa Angkasa akan menjalankan niatnya? Lelaki itu memang tidak melepasnya, tapi dia akan membiarkan Aurora melepaskan diri.

Itu kesimpulan ucapannya malam itu kan?

Tangannya sampai bergetar ketika dia menyadari fakta itu.

Hanya seperti ini kah cerita mereka? Sesuatu yang mereka mulai dari dia yang mengiyakan meski tanpa cinta dari kedua belah pihak harus berakhir di bulan-bulan awal.

Hanya seperti ini kah? Apa dia memang tidak layak diperjuangkan? Semudah itukah Angkasa akan melepasnya? Apa yang menahan dia di sini? Nad? Angkasa akan mencarikan ibu baru untuk Nad. Dan Aurora yakin calon itu sudah ada.

Mengingat itu, hatinya bukan lagi tercubit, tapi teriris, perih, sakit. Dia melanggar petuahnya sendiri untuk dirinya sendiri ketika Angkasa melamarnya. Untuk tidak jatuh cinta pada Angkasa sebelum waktunya. Ah, bahkan dulu Angkasa pun berkata hal yang sama.

Dulu semua mendukungnya, sekarang semua pendukungnya sedang bermasalah bahkan Fabian tidak bisa melakukan apa-apa. Siapa yang akan membelanya sekarang? Dan apa urusan hati bisa diatur? Dia tidak akan memaksa Angkasa untuk tetap memilihnya ketika Angkasa lebih memilih perempuan lain.

Dia memilih mundur. Mungkin ini saatnya mundur seperti yang Angkasa minta.

Hari masih pagi. Langit bahkan masih redup. Di pagi yang redup itu Aurora membiarkan airmatanya jatuh. Dia tidak akan menahan apa pun yang seharusnya jatuh. Biarkan saja airmata itu jatuh, seperti dia yang sudah jatuh. Biarkan airmata itu menemani jatuhnya bersama jatuh cinta yang datang terlalu cepat. Jika menyesal bisa mengubah keadaan, dia akan menyesal. Termasuk menyesal mengiyakan lamaran Angkasa.

Semua tidak berjalan seperti yang dia pikir. Dia hanya menyiapkan diri untuk Angkasa yang menikahinya demi Nad. Dia sama sekali tidak mengantisipasi kehadiran wanita lain. Setelah lelaki itu lima tahun sendiri, manalah Aurora berpikir ke sana?

Dia membiarkan airmata itu turun sampai berhenti dengan sendirinya. Tanpa isak. Dingin pendingin ruangan makin membuat pagi yang dingin itu bertambah dingin. Apalagi ketika tidak ada kabar sama sekali dari Angkasa. Dia memutuskan berhenti mengecek jendela pesan dengan Angkasa.

Untuk mengalihkan perhatian, dia membuka aplikasi lain. Tangannya mengetuk ikon Instagram. Yang teratas adalah cerita-cerita dari lingkaran terdekat Fabian.

Apa yang orang-orang ring satunya lakukan ternyata membuat peta netizen bergerak ke kanan. Mereka lebih teryakini setelah orang-orang yang dekat dengan Fabian menceritakan sedikit kisah kedekatan mereka. Tapi itu tidak berarti banyak. Proses hukum tetap berjalan. Fabian tetap tidak bisa bebas meski netizen banyak yang mulai memaafkannya. Tapi paling tidak komen-komen yang mereka terima lebih bersahabat. Mereka berharap dengan begitu tidak ada lagi penghakiman di luar ruang sidang. Cukuplah satu kali Fabian disidang.

Aurora menghabiskan waktu dengan membaca komen-komen yang masuk. Sampai tak sadar hari semakin siang dan Nad sudah berdiri di depannya berseragam lengkap. Tentu bersama Andrew.

Astaga!

Dia langsung melihat jam. Tersentak.

"Nad sudah makan, Nak?" tanyanya panik.

"Sudah, Bu. Nad mau pamit aja ke Ibu dan Papa."

Aurora makin tersentak.

"Papa mana, Bu?"

Tergagap, dia mencari alasan cepat. "Eh, Papa semalam nggak pulang. Mendadak harus ke luar kota."

Wajah kecewa Nad membuatnya makin merasa bersalah.

"Ke mana, Bu?" Suaranya pelan. Seperti bukan Nad.

"Ke..." Berpikir. "Ke Australia." Cukup jauh untuk pergi lama tapi cukup dekat untuk pulang cepat.

Mendapat jawaban itu, Nad menunduk.

"Kok Papa nggak bilang-bilang?"

"Mendadak, Nad. Papa aja nggak pulang ke sini dulu."

"Kapan Nad bisa nelepon Papa?"

"Nad sekolah dulu aja ya. Nanti Ibu tanya Papa dulu."

"Iya, Bu. Nad pamit ya." Bersalim.

Gadis kecil itu membalik badan sambil menunduk dan diekori Andrew.

***

Jadwalnya kacau sejak dia menikah. Awalnya teman-teman di kampus dan di sekolah Nad hanya merundungnya sebagai pengantin baru. Sekarang, semua hanya sisa bisik-bisik di belakang. Dia memilih mengabaikan itu semua. Sudah cukup bebannya tanpa harus memedulikan ucapan mereka. Komen-komen di status tentang Fabian cukup menghibur.

Sebenarnya, Aurora tidak ingin ke kampus. Dia ingin melarikan diri seperti Angkasa. Tapi menyadari kekacauan jadwal itu, dia memanfaatkan waktu yang ada untuk hadir di kelas. Hadir saja, tapi jiwanya tidak.

Kelas selesai. Tidak mau terlalu lama bersama orang-orang yang tidak ada kegiatan—berpotensi menggunjingnya—Aurora bingung ke mana harus melarikan diri. Dia tidak mau ke rumah ibunya. Bertemu Ibu bisa membuat pertahanannya jebol. Dia belum menceritakan sama sekali kondisi rumah tanggannya.

Tak tahu ke mana, dia sudah berada di selasar menuju gerbang utama. Berjalan sambil melamun, dia tidak sadar ketika satu sosok tiba-tiba menghadang jalannya.

Jagya.

"Halo, Nyonya Angkasa," sapa Jagya dengan senyum ramah yang dibuat-buat. "Apa kabar?" Melihat Aurora, dia merasa melihat pelampiasan untuk jengkelnya selama ini.

Untuk apa dijawab? Aurora hanya berusaha tetap berjalan, menjauh menghindari Jagya.

"Aku punya berita baru loh. Kamu mau lihat?" Jagya kembali menyodorkan ponsel.

"Nggak perlu. Terima kasih." Dia menaikkan tangan sebagai tanda penolakan. Menunduk, Aurora tidak mau bersitatap dengan Jagya. Tatapan lelaki itu mengintimidasi.

Jagya tertawa keras sampai beberapa orang menoleh ke arah mereka.

"Yakin?" Tetap tidak menjawab. "Ya sudah kalau begitu. Yang kemarin aja sudah cukup nyakitinnya kan? Pulang deh, Nyah. Supir sudah nunggu tuh."

Aurora berlari menerobos barikade Jagya.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang