220, Di Titik Nadir

87 23 12
                                    

Malam meski belum di tengahnya. Tapi dunia sangat senyap. Langit gelap tanpa bintang. Tertutup awan.

Dia hanya memandang kosong apa pun yang ada di hadapannya. Tangannya masih mencengkeram kemudi walau mesin sudah dia matikan.

Tok tok...

Suara ketukan di kaca jendela membawanya kembali.

Aurora.

Dia hanya menoleh ke arah suara tanpa melakukan apa pun. Lalu dia merasa Aurora menyuruhnya membuka kaca jendela mobil.

Baiklah....

Tangannya bergerak menyentuh tombol dan kaca bergerak turun sampai hilang tak tersisa tertelan pintu.

Dia tetap hanya memandang kosong pada sosok yang berdiri setengah menunduk di depannya.

"A..." Jelas Aurora sama sekali tidak berusaha menyembunyikan keheranan dan kekhawatirannya. "Ada apa?"

Angkasa hanya diam. Berusaha mencerna pertanyaan itu.

Ada apa? Apa maksudnya dengan 'ada apa?'?

Sejurus kemudian dia menggeleng lemah. Bukan bermaksud menjawab 'ada apa' dengan 'tidak ada apa-apa', gelengan itu hanya berarti 'aku tidak tahu ada apa'. Dia sudah mati rasa.

Aurora semakin khawatir. Semakin hari, suaminya semakin diam, sangat mengkhawatirkan. Lalu dia melihat luka di bibir Angkasa.

"Aa! Ini kenapa?" Spontan—tentu saja spontan—tangannya bergerak menyentuh bibir yang jelas terluka. Tapi Angkasa menarik diri.

"Sorry..." Aurora khawatir sentuhan spontannya membuat luka itu semakin sakit. Dia pun menarik tangannya. "Ayo, sini Olla obtatin." Dia membuka pintu mobil, menanti Angkasa berdiri dengan kehendaknya sendiri.

Tapi Angkasa hanya diam.

"A?"

"Ya?"

"Ayo"

"Ke mana?"

"Masuk." Pertanyaan dan jawaban apa itu? Tapi jawaban itu membuat Angkasa mengangkat bokong meninggalkan kursi mobil. Berjalan mengekor di belakang Aurora. Aurora berusaha menyejajari langkah suaminya. Menghentikan langkah pelannya agar Angkasa bisa berjalan di sampingnya. Tapi Angkasa seperti tak ingin menyentuhnya. Menjauh, dia berhenti berjalan ketika Aurora berhenti.

Aurora hanya bisa menarik napas panjang, dia butuh semua oksigen yang tersedia untuk bertahan.

Ketika langkah Angkasa tidak lagi mengikuti Aurora, dia bertanya, "Aa mau ke mana?"

"Nad..."

"Nad sudah tidur." Tadi anak itu menunggu papanya, tapi dia merayunya agar Nad mau tidur tanpa bertemu papanya terlebih dahulu. Walau mengerti bahwa mereka ditimpa musibah baru tapi tetap saja dia syok melihat kedatangan suaminya dengan ekspresi seperti itu. Dia lebih berharap Angkasa datang dalam keadaan panik. Itu jauh lebih baik daripada kosong melompong seperti ini.

"Aku cuma mau bilang kalau aku sudah pulang." Datar, hampa.

"Nad sudah tidur, Aa mau bangunin dia?"

Ide gila apa itu? Kalau sampai Aa bilang iya, wah...

"Nggak. Cuma mau bilang aja..."

Tapi Aurora sangat khawatir, kegelisahan sang ayah akan tertangkap anaknya. Tentu itu akan mengganggu lelapnya. Tapi jika iya, ikatan itu tetap akan mengganggu lelap Nad. Mereka berdua sangat dekat. Akhirnya Aurora menyerah, membiarkan Angkasa untuk ke kamar Nad.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang