Meninggalkan Aurora seperti itu, Angkasa kembali seperti layangan putus tali. Dia tidak seharusnya pergi. Dia salah. Iya, dia salah lagi. Semua yang dia lakukan salah.
I'm the destroyer. Aku adalah antitesa Midas. Semua yang kusentuh akan rusak. Aku akan menjaga semua yang bisa kujaga dari kerusakan yang bisa aku timbulkan. Aku akan menjaga Aurora termasuk menjaga fisiknya. Aku kadung menyakiti hatinya. Aku akan menjaga sisi Aurora yang lain.
Bagaimana dengan Laras?
Di tengah dunia yang hiruk pikuk ini, dia kesepian. Sejak Nana pergi, itu yang dia rasa. Kehadiran Aurora tidak menghilangkan rasa itu. Dan dia makin terisolir dari keriuhan itu ketika dia menjadi penyebab masalah yang datang silih berganti. Oh, tidak, tidak silih berganti melainkan tumpang tindih.
Di keriuhan sepi itulah Laras datang. Perempuan masa lalunya hadir untuk mengisi lubang sunyi. Menjadi tempatnya berkeluh kesah ketika dia menjadi antitesa Midas di keluarganya. Kehadiran Jagya memang membuat luka baru. Luka yang menyakitkan tapi dia menikmati luka itu. Ini benar jatuh cinta. Jatuh tapi indah. Dan hanya Laras yang bisa menambal lubang kehilangan momen ayah dan anak lelakinya dengan cerita-cerita mereka sepanjang nyaris dua dekade.
Namun dia pun tidak menampik ketika rasa yang sudah lama terkubur kembali hadir. Mungkin memang rasa itu tidak pernah mati, hanya berhibernasi untuk melindungi hatinya dari luka patah hati ditinggal pergi. Rasa itu begitu cepat menggeliat ketika menyadari alasan Laras pergi. Untuknya dan karena papanya.
Apa Laras masih pantas untuk didaulat menjadi penyebab kehancurannya? Piala itu seharusnya untuk papanya bukan? Jika papanya tidak lancang mengintervensi hubungan mereka, kisah hidupnya akan berbeda. Tidak ada periode gelap yang membuatnya setengah mati membangun kepercayaan Nana. Tapi, jika periode gelap itu tidak ada karena mereka—dia dan Laras—tetap bersama, tentu tidak akan ada Nana dan Nad.
Ah, teruslah berandai-andai. Andai-andai yang akan semakin membelitnya dalam rasa bersalah. Sudahlah, semua sudah berlalu. Dia hanya ingin sedikit memperbaiki semua yang sudah dia rusak.
Jika dulu dia marah pada Laras, salahkah jika sekarang dia merasa bersalah? Yang untuk membalas rasa bersalah itu dia berusaha mendekati anaknya.
Di keremangan senja di ketinggian Jakarta, dia berdiri menatap matahari yang lelah dan perlahan jatuh meninggalkan hari. Warna-warna jingga, kelabu, putih, dan biru terlihat cantik sebagai langit. Tapi itu tidak menghibur Angkasa. Keindahan itu hanya tertangkap lensa mata lalu hilang di keriuhan hati. Hambar. Tidak ada rasa, tidak ada arti.
Di sinilah dia lagi-lagi melarikan diri. Dulu pun di sini terpuruk lelah mengejar Nana.
Matahari makin hilang bulatnya. Sisa semburat jingga menghias tipis di sudut barat bumi. Namun Angkasa bergeming di tempatnya. Tetap berdiri setengah duduk di sandaran sofa menatap langit menembus dua lapis kaca. Dengan tangan bersedekap dia menutup diri dan seakan ingin melindungi diri dari kejamnya dunia. Menjaga hatinya agar tidak ada luka baru lagi.
Malam telah sempurna, gelap telah utuh. Tidak ada yang berubah kecuali dia bergerak untuk menjalankan kewajibannya. Dia menutup tirai dan menyalakan lampu. Selesai sholat, dia masih terduduk di sajadah. Tidak ada yang berubah di hatinya. Tetap gundah, tetap sedih, tetap sakit, tetap sepi.
Mungkin membersihkan tubuh bisa membuatnya sedikit merasakan sensasi hidup. Maka itulah yang dia lakukan. Namun hanya bersih yang dia dapat. Tidak lebih. Dia berakhir di sofa bed yang terpasang menghadap langit. Melanjutkan lamunan sampai jauh malam. Lagi-lagi melupakan makan dan bahkan melupakan pulang. Oh, dia tidak lupa pulang, dia hanya tidak tahu ke mana harus pulang.
***
Mungkin Nad sudah bosan bertanya di mana papanya. Anak itu tertidur tanpa menanyakan itu. Tapi gurat wajah sedih Nad tetap nyata. Tadi, sebelum tidur, dia ke kamar orangtuanya untuk berpamit pada Aurora dan pada bantal di sisi Angkasa. Setelah berdiri diam sejenak, baru dia berbalik tanpa meminta ditemani Aurora. Hanya Andrew yang setia mengekori Nad.
Kucing itu bukan kucing kecil lagi. Dia sudah menjadi kucing tua yang dengan pengalaman hidup berganti majikan, dia tahu bahwa ada yang salah di rumah mereka. Dia tahu bahwa majikan kecilnya bersedih. Andrew tidak pernah meninggalkan Nad.
Meski Nad tidak meminta ditemani, Aurora ikut mengekor di belakang Andrew. Di ambang pintu dia diam berdiri. Melihat gadis kecil yang begitu mandiri duduk berdoa berdua Andrew yang duduk di hadapannya lalu menarik selimut.
"Nite, Ndo." Suara lirih yang dibalas Andrew dengan meong singkat sambil menggosokkan pipinya ke pipi Nad. Lalu kucing itu melingkar di kaki Nad. Menjaga Nad.
Melihat itu, batin Aurora makin tersiksa. Dia sangat mencintai Nad. Dia ingin menemani dan menjaga Nad. Tapi...
Aurora berjalan perlahan mendekati Nad. Tidak ada yang perlu dirapikan tapi Aurora merapikan selimut Nad sambil mengecup puncak kepalanya.
"Nite, Nad. Nice dream."
Setelah memandang sesaat wajah Nad, dia mengelus kepala Andrew sebagai pamit. Kemudian kembali ke kamar dan melamun sampai jauh malam.
Sudah lewat tengah malam dan Angkasa belum pulang. Pesan yang dia kirim meski sudah tersampaikan tapi tidak terbaca. Pesan itu dia kirim setelah kembali dari kamar Nad. Sudah lewat empat jam tapi belum ada balasan.
Duduk melamun bertopang dagu di sandaran sofa, Aurora tidak tahu, dia harus menunggu atau tidak. Oh, sebenarnya dia tahu, dia tidak seharusnya menunggu. Untuk apa? Sebulan ini, nyaris seusia pernikahan mereka, Angkasa pulang malam lalu pergi lebih pagi dari jadwal ke kantor.
Angkasa hanya menumpang tidur di rumah sendiri. Makan pun hanya makan pagi. Makan malam yang dia siapkan lebih sering tidak berguna.
Apa dia sudah makan malam? Aurora bermonolog sambil melirik jam di dinding. Sudah hampir jam dua dini hari. Seharusnya dia sudah makan.
Apa aku harus menanyakan langsung? lanjut monolog itu lagi. Ah, sedangkan pertanyaanku tadi saja belum dia baca, apalagi dia balas, apalagi kalau aku bertanya lagi. Eh, apa lebih baik aku bertanya lagi? Mungkin chat itu tenggelam.
Aurora menyambar ponsel yang tergeletak di depannya. Dia sudah membuka jendela pesan dengan Angkasa, sudah siap mengetik, tapi dia mengubah pikirannya.
Untuk apa? Untuk apa bertanya jika untuk menjawab pun dia enggan. Aurora tahu, Angkasa menghindarinya, menjauh darinya. Hanya menjawab ala kadarnya pertanyaan-pertanyaan receh pemecah sunyi. Ah, dia benar-benar hanya ibu sambung dari anaknya. Hati lelaki itu sudah memilih dan itu bukan dia.
Menarik napas panjang, Aurora tidak lagi bermaksud menunggu Angkasa. Ketika dia bergeming dari posisinya, itu hanya karena dia ingin melamun. Melamunkan jalan hidupnya. Berpikir, jalan apa yang harus dia pilih setelah ini.
Dia terus melamun sampai jatuh tertidur masih tetap di posisi yang sama.
***
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/353816095-288-k793565.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...