229, Mempertanyakan Takdir

82 26 18
                                    

"Trist, kasih surat itu ke Kaprodi." Fabian menunjuk dengan dagu selembar kertas rapi terlipat tiga.

"Surat apaan?"

"Resign."

"Hah?" Suara Tristan. Sementara Rey langsung melepaskan pelukannya.

"Ian serius?"

"Nggak nanti aja, Bang?" Tristan tidak percaya Fabian mengambil keputusan seekstrim ini, secepat ini. "Pak Budi mau ajukan praperadilan, dia lagi kumpulin bukti."

"Daripada dipecat lebih baik resign duluan." Datar, tegas, tapi ...

"Tapi, Bang..."

"Sudah, kasih dulu aja. Urusan yang lain nyusul. Yang penting tanggalnya. Jangan sampai orang mikir macam-macam dan lebih ngerusak reputasi guru. Sudah cukup dari kemarin gue bikin kasus cuma kasih kronologis tapi nggak resign."

Non mengambil ponsel dan memfoto surat itu.

"Buat apaan? Kamu mau upload di sosmed?"

"Katanya tadi yang penting tanggalnya. Apa susahnya orang nuduh Abang bikin tapi tanggalnya dimundurin. Kalau ada foto, ada stamp date. Nggak bisa nuduh macam-macam."

"Oke. Simpan deh fotonya." Non mengangguk. "Trist, panggil Aa ke sini."

Tristan langsung menatap Fabian lebih serius. "Ada apa?" Angkasa pasti ke sini. Sisa dia dan Aurora yang belum bertemu Fabian. Tapi permintaan Fabian seperti menegaskan keharusan Angkasa ke sini.

"Ada yang gue mau omongin."

***

Tristan dan Non berganti Angkasa dan Aurora. Ketika Aurora menyalimi Fabian takzim, Angkasa hanya berjabat tangan, terasa kaku. Namun Fabian mengabaikan itu dan kembali ke Rey. Dia tidak mau membuang waktu tanpa berdekatan dengan istrinya. Kemarin ketika dia bebas begitu, apalagi sekarang.

"Lu mau punya ponakan baru, Ang. Sudah tau kan?"

Angkasa mengangguk kaku. "Congrats for both of you. Gue ikut senang." Terdengar seperti bukan Angkasa.

"Kamu belum hamil, La?"

"Eh?" Tergagap. "Belum, Bang."

Fabian menarik napas panjang sambil melirik Angkasa yang terlihat berusaha abai. Aurora menunduk dalam, terlihat begitu salah tingkah. Namun Angkasa pun. Fabian langsung tahu perasaannya benar. Ada yang aneh dengan dua orang ini. Atau ada yang salah?

"Sabar ya, La."

"Iya, Bang. Mungkin Olla memang belum pantas jadi Ibu."

"Kamu bukan cuma pantas, tapi layak. Aa pilih kamu kan karena itu." Fabian melirik Angkasa tajam. "Ya nggak cuma buat jadi ibunya Nad aja-lah, jadi istrinya Aa juga."

"Iya, Bang." Dia harus menjawab apa?

"Angkasa akan sibuk banget urus ini itu karena Abang di sini. Kamu yang sabar ya, Dek. Temani aja dia."

"Iya, Bang." Aurora menunduk makin dalam.

"Katanya kemarin Aa sakit. Sudah sembuh?" Dia bertanya seakan obyek pertanyaan itu tidak ada di sana. Membuat Angkasa bertanya-tanya, untuk apa Fabian memanggilnya khusus.

"Sudah, Bang."

.

Tok tok tok

.

Suara ketukan mengganggu mereka. Pintu terbuka dan mengantarkan masuk seorang petugas.

"Maaf, Pak. Waktunya habis."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang