236, Menyusun Rencana

88 23 26
                                    

"La ... La ..."

Angkasa tersentak dengan punggung melengkung mengejar kenikmatan.

Tanpa bisa dia tahan, benihnya meluncur membebaskan diri. Menyadarkan Angkasa sesadar-sadarnya sadar. Butuh beberapa detik untuknya meyakini apa yang dia sadari benar terjadi.

Dan butuh beberapa detik lagi untuk menyadari di mana dia berada.

Tapi tremor tubuhnya belum hilang. Tremor yang membuatnya antara ada dan tiada, melayang di antara kenikmatan nyata. Semua terjadi bersamaan.

Setelah semua kesadarannya utuh, dia mencoba menelaah apa yang terjadi. Dan ketika jawabannya dia yakini kebenarannya, itu membuatnya tidak percaya.

Dia baru saja mimpi dewasa di usia sedewasa ini. Mungkin ini biasa, tapi buatnya ini tidak biasa. Karena yang biasa terjadi adalah dia sadar sebelum dia sampai di puncak.

Lima tahun melajang membuat dia terbiasa dengan itu termasuk melayani dirinya sendiri. Semua biasa, tapi ada satu yang tidak biasa yang membuatnya bergidik. Antara menikmati dan bergidik ngeri.

Duduk di tengah ranjang, dia masih terpaku dengan keindahan mimpi tadi. Sudah lama dia tidak merasakan yang seperti ini. Yang sebelumnya hanya mekanisme tubuh mengeluarkan sisa produksi.

Dia segera menyadari apa yang membuat mimpi itu begitu melekat.

Dia bersetubuh dengan Laras. Sangat jelas sosok itu Laras. Dia kembali ke saat mereka bersatu bersama. Dia kembali muda belia. Bersama Laras di mobil, saat hujan deras, di bawah pohon, di tepi hutan. Semua sejelas itu. Sejelas basah di celana yang dia biarkan saja ketika dia mengenang satu kali kebersamaan mereka dan mimpinya tadi.

Dia tercenung melihat jejak gairahnya. Apa dia sekesepian ini? Apa dia begitu haus belaian perempuan?

Dia mengacak wajah sambil menjatuhkan tubuh telentang di ranjang. Di langit-langit kamar terlihat Laras tersenyum malu-malu seperti ketika mereka pertama kali bertemu.

Ah, jelas hati ini memilih Laras. Jelas rindu ini karena Laras. Jelas cinta ini untuk Laras.

Dia tidak peduli jika rasa itu sempat hilang atau memang tidak pernah hilang. Yang penting sekarang semua sejelas siang.

Dia mau Laras. Dia rindu perempuan itu. Salahkah jika dia ingin kembali pada Laras? Laras tidak bersuami. Dia memang lelaki beristri. Tapi keputusan ada di Aurora. Dia ingin pergi atau tetap bersama tapi mengizinkan Angkasa mendua.

Angkasa meneguhkan tekad. Dia akan jujur pada semua. Lalu seperti kepada Aurora, dia pun akan membebaskan yang lain berpikir apa pun tentang dia.

Hari baru dimulai. Fajar bahkan belum tiba. Dia ingin melanjutkan tidur. Ingin kembali bermimpi bersama Laras. Berguling miring memeluk guling, seulas senyum tipis tercetak di bibir ketika dia membayangkan Laras.

"Laras..." Desah itu utuh menyebut sebuah nama.

***

Lelaki itu menerobos pintu memasuki sebuah kamar kos kecil dan sederhana. Meski dia mengendarai motor, tapi dia tetap terengah.

Dia mencuri lagi. Kali ini demi orang yang dulu haknya dia ambil. Sudah berlalu begitu lama tapi rasa bersalah itu tetap bertahan. Demi itu semua, dia memberanikan diri mengacak-acak ruang kerja majikannya.

Sepanjang meninggalkan ruang itu, dia tergesa setengah berlari. Mengabaikan petugas keamanan jaga malam yang menyapa sambil menahan kantuk.

Dan di sinilah dia sekarang. Di kamar kos kecil dan sederhana yang baru beberapa bulan dia tempati. Tak banyak barang pribadi. Hanya tas jinjing kecil berisi beberapa potong pakaian dan backpack yang tadi dia bawa berisi laptop dan peralatan kerja. Dia sudah siap meninggakan tempat ini kapan pun.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang