258, Semudah Itu

97 28 1
                                    

"Ian, lu kapan mau ngajuin tuntutan ke Broto? Pencemaran nama baik." Angkasa bertanya. "Biar prosesnya cepat, biar kita tenang."

Pagi itu, mereka sudah berkumpul lagi di ruang tengah. Manusia memang hanya bisa rencana. Rencana Setiabudi digagalkan aksi Nia. Entah mana yang lebih baik, tapi semoga saja bisa membuat Broto membusuk di sel.

Angkasa begitu tidak sabar ingin menyudahi semua ini. Bukan cuma Angkasa, semua, semua ingin ini segera selesai. Namun pertanyaan itu dijawab dengan keheningan semesta jiwa ketika Fabian mendadak terdiam dengan wajah tak terbaca. Yang lain tidak ada yang menjawab, tak ada yang berkata-kata. Semua hanya terdiam, menunggu jawaban Fabian yang dianggap orang yang paling menjadi korban kebrutalan dendam Broto. Tapi orang itu memandang kosong mencari jawaban. Pembenaran untuk sebuah keputusan.

"Kamu bisa pakai alasan efek jera." Akhirnya Ari merobek selaput senyap itu. Dia kenal kakaknya.

Tapi Fabian tetap diam. Masih memandang kosong ke angkasa raya di balik kaca. Tangannya tak henti mengelus punggung istrinya. Mencari kekuatan, berharap teman.

"Efek jera..." lirih, berusaha melanjutkan. "Biar dia kapok ngerjain orang ... biar dia kapok korupsi..." Kembali mencari kata menyusun kalimat.

"Boleh..." balas Ari. "Itu sangat bisa dipakai."

"But reason is always reasonable."

Kembali senyap.

"Beri tahu aku caranya berbohong pada diri sendiri, Sayang..." bisiknya lirih di telinga istrinya. Bisik lirih yang masih cukup keras untuk didengar oleh semua.

"Kenapa?" Rey menoleh cepat, melihat wajah lelakinya yang masih terpaku.

"Kalau aku nuntut dia, aku yakin, itu karena aku marah sama dia. Itu jadi balas dendam aku." Tatapannya beralih ke wanitanya.

"So?"

"Aku nuntut dia, itu karena balas dendam, bukan soal efek jera itu."

"Kalau balas dendamnya mbonceng efek jera nggak bisa?"

Fabian tersenyum tulus.

"Alasan selalu benar..."

"Ian nggak mau nuntut dia?"

"Makanya, kasih tau aku caranya bohong sama diri sendiri." Menarik napas panjang. Berat. Kembali menatap angkasa terhalang kaca. "Karena sekarang yang aku rasa, aku sebel banget sama dia, mungkin sudah benci, marah, aku mau balas kelakuan dia, aku mau dia berkerak di penjara."

"Kalau rasa itu yang mendominasi, lebih baik tidak usah tuntut dia. Biar proses hukum mengalir sendiri. Toh tanpa tuntutan dari kita dia sudah di penjara." Ari berkata setelah menarik napas yang sama beratnya. "Aku tidak mau kita hidup seperti itu. Sudah cukup dia membuat kita seperti ini. Jangan sampai kita menjadi seperti dia."

"Berat, Ri..." keluh Fabian

"Aku tahu..."

"Jika ada orang yang menyakitimu, balas dia dengan melemparkan setangkai mawar indah..."

"Itu malaikat..." potong Ari cepat.

"Tapi jangan lupa lempar sama pot-potnya," lanjut Fabian tak kalah cepatnya.

"Itu sisi manusianya."

"Gue manusia, Ri..." Mendesah berat dan malas. "Bukan malaikat."

"Kamu yang bisa menentukan, mau jadi manusia seperti apa kamu."

"Apa kalau aku nuntut dia sampai dia dipenjara artinya aku lempar dia pakai mawar plus potnya? Apa kalau aku nggak tuntut dia aku jadi malaikat?"

"Nope. Kamu hanya menjadi manusia yang lebih baik dari dia."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang