243, Mark Me First

132 31 4
                                    

"Mark me here. Only a few woman there. Mark me. Fill it with all of you. Your love, your care, your body. Get rid of the others. So only you stay there. Make me yours so I'm yours."

Jika menangis bisa membalas kalimat itu, maka itulah yang Aurora lakukan. Airmatanya kembali jatuh.

Jika menandai Angkasa dimulai dengan membiarkan Angkasa menandai dirinya, maka itulah yang Aurora lakukan. Dia melepas sendiri kemeja itu lalu mengecup Angkasa langsung di bibir lelaki itu.

"Mark me first." Tubuhnya kembali polos.

"Kamu serius? Kamu siap? Sekarang?"

"Mark me. So you'll never think to leave me again."

"I won't." Dia berdiri dan membantu istrinya memperbaiki posisi duduk di ranjang sementara dia tetap berdiri.

Tak mau banyak berpikir, Aurora menarik turun satu-satunya carik yang menutupi Angkasa. Mereka kembali seimbang. Polos tak berbaju seperti bayi yang baru lahir.

Kali ini, tidak ada penolakan lagi. Semua mengalir begitu natural. Begitu apa adanya. Keduanya berusaha melenturkan tubuh untuk bersatu saling mengisi celah yang ada. Memang butuh waktu lama untuk mereka saling mengenal tubuh masing-masing. Angkasa berusaha mendampingi Aurora, dan gadis itu berusaha menerima semua. Angkasa mengerahkan semua daya upaya untuk menyenangkan istrinya, dan Aurora membalasnya dengan cara yang sama.

Ini benar-benar seperti baru lagi bagi Angkasa. Terlalu lama sendiri, dia nyaris lupa urusan bercinta. Dia membiarkan instingnya bekerja membimbing tubuhnya. Sampai dia merasa Aurora sudah siap untuknya, maka dia pun bersiap.

Dia menatap langsung ke mata Aurora. "Let me in, Aurora, Please."

"Yes, please come in."

Dia berkedip satu kali, lalu mengecup puncak kepala istrinya dan menerbangkan berjuta mau di sana.

Tubuh-tubuh liat berkeringat itu terus bergerak. Menyatu dan berlarian bersama mengejar puncak. Angkasa tidak melepaskan Aurora sekejap pun. Dia terus mengayuh. Mengantarkan istrinya ke puncak lalu melepasnya terbang melayang. Dia membuat Aurora gila dengan gairahnya sendiri. Sampai dia tidak sanggup lagi bertahan lalu dengan satu tarikan napas dia pun mengentak melepas semua menembus jauh ke kedalaman tubuh istrinya.

Aurora masih di angkasa ketika dia merasakan panas napas Angkasa yang tersaruk terengah mengatur napas di lekuk lehernya. Napasnya terdengar kasar tak teratur. Tapi dia pun sama. Tenaganya habis sepanjang perjalanan menembus awan. Pun Angkasa. Namun dia tahu tubuhnya membebani Aurora. Dengan sebagian tubuh masih terkubur di dalam tubuh Aurora, dia sedikit bergeser menyamping lalu membiarkan sebagian tubuhnya yang lain tetap memeluk di atas Aurora.

Terserah. Aurora tidak peduli bahkan jika Angkasa bertahan utuh di atasnya. Meski dia masih terengah, tapi sesaknya hilang.

Hanya sebelah tangan Angkasa yang bebas bergerak dan tangan itu melintang di atas dada istrinya. Tangan itu bergerak lemah, seperti mencari sesuatu. Melata di sepanjang lengan telanjang Aurora, akhirnya tangan itu berhenti bergerak ketika dia menemukan pasangannya. Dia menyusupkan jari-jarinya di antara jari Aurora. Dua tangan dengan pemilik berbeda itu bertemu dan membentuk sanggurdi.

Angkasa menunduk menyembunyikan wajah di antara helai rambut. Setelah meledakkan dirinya, dia merasa hidupnya pun meledak.

Ini pilihannya. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Dia tahu bahwa dia sudah melepas cinta sejatinya, love of his life, untuk bertahan berkomitmen dengan perjanjian yang kuat.

Dia melepas Laras dengan usia lamaran hanya dengan bilangan menit. Entah sakit apa lagi yang Laras rasa. Pasti lebih sakit dari yang dia rasa. Tapi mengingat bagaimana Aurora tadi, dia makin merana. Dia telah menyakiti Aurora lebih sakit dari yang dia kira.

Napasnya mulai teratur, dia mendesah untuk apa yang terjadi malam ini. Tangan mereka masih menjadi sanggurdi. Aurora begitu diam bahkan meski setengah tubuh Angkasa masih menindihnya. Dan itu menakutinya.

Angkasa menggerakkan sedikit tungkainya. Penyatuan mereka terlepas. Aurora mendesis lemah, sedikit geliat langsung Angkasa rasa. Membuatnya khawatir.

"Sakit?" tanyanya sambil melepaskan tangan lalu tangan itu bergerak membelai di area pubis Aurora.

Aurora tidak menjawab. Dia merasakan perih yang mengiris di dalam sana ketika penyatuan mereka terlepas, pun ada yang terasa merembes keluar. Untuk meredakan ketidaknyamanan itu, dia berusaha mengatur napas. Namun belai di area kewanitaannya sangat membantu mengurangi rasa tak nyaman itu.

Mereka masih sama-sama polos bahkan tanpa selimut. Namun Angkasa tidak peduli. Dia mencari tisu basah lalu membersihkan area intim istrinya. Gerakannya begitu pelan dan lembut. Lalu dia menekuk tungkai dan mengambil bantal untuk menyanggah. Awalnya Aurora menolak perlakuan itu. Tapi tepukan lembut di lutut dan desis halus dari bibir Angkasa membuatnya menyerah. Dia begitu terbuka. Angkasa melanjutkan membersihkan istrinya.

Dengan tubuh polos dia melangkah ke kamar mandi. Namun baru saja Aurora akan merapatkan tungkai, Angkasa sudah kembali padanya lalu dia merasakan kompres hangat di area intimnya.

Sambil terus menekan-nekan handuk basah di tangannya, Angkasa menunduk dan kembali merenungi jalan hidup pilihannya. Sakitnya, ditambah sakit untuk Laras dan Aurora. Entah bagaimana caranya dia menyembuhkan sakit-sakit itu.

Dia terus merenung sambil membolak-balik handuk hangat sampai dia merasa handuk itu sudah tidak hangat lagi. Ketika dia bermaksud menghangatkan lagi handuknya, Aurora berkata lirih.

"Sudah, A. Terima kasih."

Dia mendongak melihat ke arah istrinya.

"Kamu mau ke kamar mandi." Dia langsung membantu ketika Aurora bergerak duduk.

Menyambar selimut untuk sedikit menutupi kepolosannya, Aurora melongok ke bawah.

"Masih sakit?" tanya Angkasa khawatir.

Aurora menggigit bibir sebagai jawaban. Dia masih merasa tidak nyaman.

"Nggak sampai berdarah kok. Artinya tadi kamu cukup nyaman waktu aku masuk. Ini mungkin karena pengalaman pertama aja."

"Nggak berdarah, Aa percaya ini yang pertama?"

Angkasa tertawa geli. "Aku sudah ngambil tiga perawan, Aurora."

Gadis itu, oh, perempuan itu harus bereaksi apa?

"Yang nggak perawan nggak bisa aku hitung. Banyak." Angkasa mendengus menghina dirinya sendiri.

"But I hope, you're the last one." Dia mendesah lagi. "Aku capek."

Mendengar itu, tangan Aurora tanpa sadar sudah sampai di rambut Angkasa, membelai di sana. Membuat Angkasa tersentak dan pandangan mereka bertemu.

"Sakit, A?"

"Kamu sakit?" Angkasa langsung menekan lembut area intim istrinya.

"No, I'm asking you. Are you hurt?"

Angkasa menunduk dalam. Masih dengan posisi yang sama di mana tungkai Aurora terbuka dan Angkasa bersimpuh di dekatnya.

"Aku sudah nggak tau lagi seperti apa rasanya sakit. Terlalu sering, sampai rasanya aku sudah terbiasa."

"Kenapa Aa pulang? A bisa bahagia sama Mbak Laras."

"Nggak usah pikirin aku. Yang penting kamu."

"Nggak ada yang nggak penting. Aku nggak mau nyakitin orang. Apalagi itu Aa."

"Have you fallen in love with me?" Dia bertanya khawatir.

Aurora mengangguk lemah dan Angkasa ingin menenggelamkan dirinya lagi ke kerak bumi.

"Too fast, Aurora." Mendesah merasa bersalah.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang