228, Selaput Tipis Senang dan Sedih

78 22 20
                                    

"Angkasa sudah bisa dihubungi?" tanya Ari.

Tristan berdecak dan menggeleng. "Tadi yang angkat telepon Olla. Aa nggak bawa HP."

"Coba hubungi lagi sekarang. Siapa tau dia sudah pulang." Ari terdiam sesaat, lalu teringat. "Eh, dia ke mana? Seharusnya dia masih istirahat."

Tristan mendengus jengkel. "Tadi Olla tanya Aa di mana."

"Hah?"

"Gue cek lewat GPS tracker."

"Hasilnya?"

"Di rumah Laras."

Wajah Ari langsung menggelap.

"What the hell is he doing there?" Mendesis. "Kita sudah banyak masalah, dia jangan tambah masalah baru."

Tristan mengedikkan bahu. Tapi dia sepakat dengan apa yang Ari katakan.

"Apa ada kabar dari Pak Budi?" tanya Tristan.

"Besok Rey bisa jenguk Fabian."

"Baiknya Bang Ian dikasih tau apa gimana?" tanyanya lagi.

Ari yang awalnya tidak berpikir ke sana, jadi ikut berpikir.

"Kita bisa kasih saran ke Rey sebelum dia ketemu Bang Ian," lanjut Tristan. "Bang Ian pasti makin kepikiran kalau tau Rey hamil tapi dia nggak bisa temenin. Kita tau gimana Bang Ian ngurus Rey waktu hamil Bumi."

Ari menelaah. "Kita bisa urus Rey di sini." Kepalanya mendadak berdenyut dan hatinya gelisah. Dia menggeleng keras, terlihat panik.

"Ri, lu kenapa?"

Ari terlihat aneh. Membuat Tristan waspada, lalu dia tersadar dan langsung berkata.

"Sudah, sudah. Jangan dipikirin. Nanti gue aja yang mikir. Mudah-mudahan Aa masih bisa dipakai otaknya."

Tristan mendengus kasar. Makin lama semua makin kacau. Dia memilih bertanya pada Non. Tapi Non menggeleng dan mengatakan bahwa Fabian harus tahu karena dia sudah menunggu kabar ini.

Begitulah.

Keesokan harinya mereka pergi berombongan dan Rey akan bertemu Fabian seorang diri terlebih dulu.

Rey menunggu. Tangannya tak henti mengelus perut. Membelai dan menjaga anaknya. Sedih itu memang tidak akan hilang sampai Fabian kembali pulang, tapi kehadiran anak itu bisa membuat Rey mengulas senyum.

Entah apa yang pengacara itu lakukan, sepertinya Fabian mendapat sedikit keistimewaan. Rey menunggu di satu ruang kecil sendirian saja. Ruang itu seperti ruang kerja yang tidak terpakai.

Rey nyaris melonjak ketika suara pintu terbuka terdengar. Seorang petugas masuk dan langsung disusul Fabian.

"Ian..." Dia melonjak setengah melompat ke pelukan Fabian.

"Rey..." Fabian membalas pelukan mematikan itu.

Baru kemarin mereka bertemu. Tapi rindu ini terlalu cepat beranak pinak. Sungguh, Rey selalu bersyukur atas kehadiran Fabian. Untuk pelukannya, untuk cintanya. Namun kenapa dia harus diuji seperti orang yang tidak bersyukur? Sakit sekali merasakan mereka terpisah seperti ini. Seandainya Rey pindah ke samping tembok penjara, apa dia bisa menjenguk Fabian setiap hari?

"Ian sudah enakan?"

"Sudah. Kamu apa kabar?"

"Pasti nggak baik. Nggak usah nanya kabar sih kalau begini," gerutu Rey yang membuat Fabian mengacak rambut istrinya.

"Anak-anak gimana?" Fabian melepaskan pelukan mereka dan membantu Rey duduk di salah satu kursi kerja di sana sementara dia duduk di meja tamu yang membuat mereka nyaris sejajar.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang