223, Bertemu

80 28 2
                                    

"Saya dari klinik Cipinang. Tadi saya sudah WA dan SMS Bapak, tapi Bapak nggak dengar kali ya."

"Maaf." Saya dengar tapi saya abaikan. "Ada apa dengan Fabian?" Jantungmya berderap, aliran darahnya seperti tak bisa tertampung pembuluh darahnya.

Keduanya mendelik sambil menatap tajam, khawatir.

"Saya mau ngabarin, Pak Fabian baru aja dibawa ke rumah sakit."

"Apa?" Mendesis, semakin ketakutan.

"Sipir nemuin Pak Ian pingsan..."

Dan dia sudah tidak mendengar lagi.

Seharusnya dia langsung lari ke rumah sakit. Dan tentu saja dia ingin seperti itu. Tapi saat ini dia justru berjalan mondar-mandir di kamar.

"Ari..."

"How can I tell it to her?"

Bagaimana caranya memberitahukan pada Rey tentang Fabian?

"Aku aja yang bangunin Rey ya..."

"Dia baru saja tidur, Dee." Menarik kasar rambut, menghela napas panjang, tangannya berhenti kasar di tengkuk. "Dia baru saja tidur waktu aku ke sini."

"Tapi kan kita nggak mungkin pergi tanpa kasih tau Rey..."

"Tapi..." Terputus, dia kembali menarik kasar rambutnya, kali ini berakhir dengan mengusap kasar wajahnya yang mendengus kasar. "Kamu tidak tau tadi Rey seperti apa." Berakhir dengan bersandar di dinding.

"Rey kenapa, Ri?" Dee bergerak cepat untuk berhadapan dengan suaminya yang sekarang berdiri bersandar dengan kepala menengadah. Matanya terpejam rapat, berusaha menghilangkan semua bayangan tentang Rey.

"Rey kenapa tadi, Sayang?" Lirih, Dee memeluk Ari.

"Rey sudah tahu kalau Ian sakit..." Dia bercerita cepat dan panik tentang kejadian di dinding penjara.

"Temani aku, Dee..."

Temani aku untuk menghadapi kacaunya dunia ini. Temani aku dalam semua gundah ini. Temani aku sekarang, dan selamanya. Jangan pernah pergi, Dee. Aku takut....

***

Berjingkat, mereka memasuki kamar Rey. Berhenti sesaat di balik pintu, mengumpulkan semua rasa yang berserakan di antara tempat mereka berdiri sekarang dan tubuh meringkuk Rey.

Pantas saja Ari seperti itu tadi, dia baru saja dari Rey, lalu menjumpai aku berlaku sama seperti Rey.

"Dee..." tangannya semakin erat mencengkeram jemari mungil istrinya.

Kesakitan, tapi Dee tentu saja bertahan. Apalah arti sakit remasan tangannya di banding Rey yang tidak merasakan sakit remasan tangan suaminya karena mereka terpisah dengan kejam seperti sekarang ini.

"Kenapa harus terulang, Dee?" Seperti bertanya pada diri sendiri.

"Maksudnya?"

"Aku pernah berdiri seperti ini, bersiap membawa kabar tentang Ian yang sakit."

Dee menghela napas. Tentu saja dia ingat. Dia ada di samping Rey waktu Ari berderap memasuki kelas. Dia melihat Rey, yang waktu itu belum mengerti tentang rasa cintanya pada suaminya, meluruh di pelukan Ari.

Dia ingat semuanya. Ingat detail fragmen itu. Dan saat ini, dia berdiri bersisian dengan Ari untuk mengabarkan hal yang sama dalam kondisi yang jauh lebih buruk.

"Tapi kali ini kita berdua, Ri."

Kali ini, kamu tidak sendiri, Sayang. Tidak akan kubiarkan kau menghadapi dunia yang kacau ini sendirian.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang