219, Menjadi Tersangka

80 27 3
                                    

"Fabian tersangka. Langsung ditahan. Cipinang."

Suara itu suara Ari. Yang meski tetap datar tapi tetap terdengar lain. Ada getar di suara itu. Suara Ari dari loudspeaker ponsel Dee terdengar oleh semua yang menunggu kabar.

Rey langsung jatuh pingsan. Mami, meski tetap sadar tapi kehilangan tulang. Melunglai di sofa yang dia duduki. Pada dasarnya semua syok, ingin memingsankan diri saja. Dee dan Kate hanya terdiam seperti batu Malin Kundang ketika Non dan Nia bergerak cepat mengurus Rey.

Nia berteriak panik memanggil asisten rumah tangga yang bergegas datang tergopoh-gopoh. Bertahun tinggal bersama, tidak pernah ada suara teriakan panik mendesak seperti saat ini. Aurora yang di kamar Tari tersentak lalu ikut tergopoh. Mereka datang membantu Non dan Nia. Mengambilkan minyak kayu putih dan menyiapkan minuman hangat.

Keadaan sangat kacau. Entah siapa yang masih bisa disebut waras. Tidak ada yang bisa tenang. Yang terlihat tenang itu hanya karena mereka berusaha sangat keras untuk terlihat seperti itu. Mendadak mereka menjadi sekumpulan manusia bodoh. Diam seperti batu dikutuk atau bergerak seperti robot rusak.

Rey masih setengah sadar ketika dia mulai terisak, lalu menangis, kemudian meraung. Tidak ada yang berusaha menghentikan raungan itu ketika mereka pun ingin meraung. Rey meraung jauh lebih baik daripada Rey pingsan. Mami tetap di posisi yang sama. Selalu sadar tapi terlalu lemah untuk bergerak. Tangannya bergetar hebat sambil memegang dada. Seorang asisten rumah tangga membantunya menelan seteguk air. Suaranya bergetar sepanjang meminta ampunan pada pencipta. Wajahnya pias seperti mayat.

Butuh bermenit-menit untuk menormalkan semua.

"Ada apa, Teh?" tanya Aurora pada siapa pun ketika suasana mulai lebih kondusif.

"Bang Ian tersangka, langsung ditahan di Cipinang." Non menjawab cepat.

Nia terperangah maksimal. "Kok langsung di Cipinang? Memang Bang Ian kriminal apa?"

"Mbak tau sendiri kan pemerintah sekarang galak banget sama kasus-kasus begini. Langsung dijadiin kriminal. Digabung sama bramacorah, residivis. Dari maling ayam, maling jemuran, sampai maling uang negara disamain semua." Non menjawab dengan tone lemah. Bersyukur dengan perbaikan hukum di negeri ini tapi menyesal kenapa hukum itu malah mengenai Fabian. "Siapin baju Abang, Mbak," ujarnya pada Nia. "Teh Rey nggak bisa diharap."

"Untuk berapa lama?" Bertanya seperti ini pun sudah membuat airmatanya berlerai. Lagi.

Itu sebuah pertanyaan sangat sederhana tapi sangat menyakitkan sekarang. Sampai kapan Fabian terkurung di sana? Sekarang saja mereka seperti anak ayam kehilangan induk. Apalagi nanti.

"Seadanya dulu aja. Asal ada ganti untuk malam ini. Sekalian toiletries-nya. Nggak tau Bang Ari atau Aa yang akan ke sini ambil, atau Tristan antar ke sana."

Mendengar percakapan singkat itu, Aurora begitu terkejut lalu menggantikan posisi Kate dan Dee menjadi batu Malin Kundang.

Ini malam terburuk bagi mereka. Mungkinkah ini puncak semua neraka? Siapa yang tahu? Ini masih menjelang tengah malam. Hitam belum di puncak tergelapnya. Pagi masih lama datang. Maka malam itu terisi dengan duka dan lara. Tidak ada senyum ketika untuk mencari celah bersyukur pun terasa sangat sulit. Ini adalah malam terburuk sepanjang sejarah kehidupan mereka.

***

Setelah malam terburuk berlalu tanpa tidur, pagi terburuk datang. Semua masih sangat syok. Ketiadaan Fabian membuat mereka benar-benar seperti anak ayam kehilangan induk. Papi mengambil alih tongkat komando. Tidak ada perintah. Semua harus berjalan seperti biasa. Anak-anak tetap harus sekolah. Rey tidak bisa mengurus Bumi dan Matahari tapi ada dua nenek dan Nia. Aurora dan Nad sudah pulang lepas subuh.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang