246, Tamu Tak Diundang

137 26 4
                                    

PAGI berlalu dengan berusaha membayar hutang janji pada Nad. Mereka mengantar Nad ke sekolah berdua, lalu memohon—catat: mohon, bukan izin—pada Nad agar mengizinkan mereka tidak menjemput tapi tanpa bisa berjanji kapan semua bisa kembali normal. Kali ini, meski bibirnya mencucu, Nad bisa cepat mengerti dan mengalah.

Setelah mengantar Nad, Angkasa mengantar Aurora ke kampus.

"Hindari Jagya. Jangan keluar kelas kalau nggak perlu. Kalau keluar kelas, bareng-bareng yang lain. Jangan pulang sebelum Pakde sampai di kampus."

"Iya, A."

"Aku serius, Aura."

"Aku juga serius." Dia masih kaku dengan nama yang Angkasa berikan. "Aku juga nggak mau cari masalah. Aku beneran akan menghindari Jagya. Aa nggak usah khawatir."

"Kalaupun dia kirimin kamu video-video lagi, cuekin aja. Itu stok lama."

"Iya."

"Aku mau paling nggak dia tau aku antar kamu. Biar dia tau rencananya gangguin kamu gagal."

"Tapi aku nggak tau dia ada di kampus apa nggak."

"Kita akan lewat depan jurusannya."

"A..."

"Ada aku. Kalau dia berani, ya sudah, ayo aja. Asal jangan jadi banci gangguin cewek." Angkasa terus mengemudi, berusaha fokus dengan jalanan di depan.

"Ya Tuhan, Aa ... itu yang aku hindari."

"Kita cuma akan lewat depan dia, Aura. Cuma biar dia tau kita baik-baik aja." Angkasa berusaha meyakinkan istrinya. "Aku nggak tau apa rencananya. Dia nggak suka sama aku? Noted. Tapi ngapain ngacak-ngacak kamu? Apa dia berharap kita pisah lalu aku kembali ke ibunya? Kan dia nggak suka aku. Tapi apa pun rencana dia, gagal. Aku pilih kamu, kita tetap bersama. We'll go through this."

"A, dia cuma mau ganggu Aa. Lewat aku."

Angkasa memukul dahinya keras.

"Ah iya. Dia akan selalu cari cara ganggu aku lewat jalan mana pun. Sekarang lewat jalur Ian dan kamu. Jadi dia tetap akan cari jalan lain untuk gangguin aku kalau lewat kamu gagal." Dia harus berusaha menahan emosi yang mendadak melonjak membuatnya ingin mengamuk. Mereka sudah sampai di tempat parkir. Tapi Angkasa tetap duduk dengan wajah tegang dan tubuh kaku.

"Aura ... aku cerita ke kamu aja. Kamu jangan bilang ke siapa pun."

"Apa, A?" Ketegangan yang Aurora rasa mendadak naik.

"Yang ngerjain Ian itu Jagya. Dia yang sebarin foto, dia yang bikin Ian di penjara."

"Astaga!" Dia mendelik sempurna. "Aa tau dari mana?" Dia menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan telapak tangan. Sangat terkejut.

"Dari dia sendiri. Pas aku tanya dia kayak nantangin gitu. Makanya, kamu hati-hati sama dia. Dia licin sekali. Sampai sekarang aku nggak ketemu celah tempat dia masuk. Apalagi urusan Manuel, aku nggak tau dia dapat data dari mana."

"Ya Tuhan, Aa ... I'm so sorry."

"Aku bingung, Aura. Aku serba salah. Aku buka, Jagya yang kena. Dia anak aku. Aku nggak buka, Ian yang kena. Ian sahabat aku. Ian ipar aku. Gimana Rey kalau Ian...." Dia tidak bisa—tidak berani—melanjutkan kalimat itu.

Aurora meremas kuat bahu Angkasa. "Aku makin ngerti kenapa kemarin Aa kacau banget lalu—" Melarikan diri ke Mbak Laras, lanjutnya dalam hati.

"Aku bingung harus pilih yang mana. Kalau aku lapor, Jagya yang kena. Dia akan makin benci aku. Gimana aku bisa dekati dia?"

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang