256, Pergi

92 27 8
                                    

"Trist, dapet nggak lu?" tanya Angkasa sambil berjalan. Semua tergantung Tristan sekarang. CCTV tidak berguna lagi.

Tristan diam tidak menjawab demi konsentrasi tetap utuh.

"Geura, Trist. Kita di mobil mau ke mana kalau lu belum dapat." Mereka sudah di selasar.

"Cicing sia." Sungguh, dia panik. Kejadian delapan tahun lalu kembali membayang.

Melihat ada yang aneh dengan Tristan, Ari menyambar ponsel dari tangan lelaki itu lalu langsung memberikan pada Angkasa.

"Kamu yang lacak, Ang!" Tristan terperangah kehilangan ponsel dan akal. "Kamu kenapa, Tristan?"

Tangan Angkasa berhenti bekerja lalu menatap Tristan.

"Kamu, tetap kerjakan tugasmu!" perintah Ari yang membuat Angkasa tergagap dan kembali fokus pada ponsel di tangan.

Fabian makin sulit mengendalikan pikiran. Angkasa kembali fokus bersamaan lift meluncur turun.

"Gotcha!"

Empat kepala nyaris bertabrakan ketika terburu melihat hasil.

"Gue nggak tau ini daerah mana tapi dia masih di Jakarta."

Semua berlarian ke mobil. Ari memegang kemudi, Fabian di sisi penumpang, Angkasa dan Tristan di belakang.

"Cari tau itu daerah mana. Dari gmail kurang akurat." Ari berkata sambil fokus ke jalan.

"Trist, cari tau rumah Broto daerah mana." Kali ini Fabian berhasil berpikir. "Daerahnya dulu aja. Nanti alamat lengkapnya nyusul."

"Hah?"

"Gue curiga Nia ke sana."

Tiga yang lain langsung terdiam tapi mereka sepakat dengan kecurigaan itu.

"Nia di utara." Info Angkasa. "Kalau handphone-nya gue buzz kira-kira Nia sadar nggak ya?"

"Jangan. Cuma HP itu pemandu kita. Nanti ia kaget, malah dia buang tu HP. Dia nggak boleh tau kita ngikutin dia."

"Dan g*bl*knya kenapa kita nggak pernah nelepon Mbak Nia?" Tristan menepuk keras dahinya.

"Dia reject terus. Aku sudah coba." Ari bersuara. "Mungkin sekarang nomor aku sudah dia blokir."

"Jangan ditelepon kalau begitu. Kita beneran cuma ngandelin gmail."

"Pantai Mutiara." Tristan berhasil mencari tahu daerah rumah Broto. "Utara. Mbak Nia ke utara juga."

.

Brak

.

Fabian memukul dashboard. "Dia pasti punya dermaga pribadi. Broto gampang banget bawa kabur Nia." Dia menarik keras rambutnya. "Hubungi polisi. Kita nggak akan bisa masuk ke sana tanpa polisi."

Angkasa membuat panggilan itu, sementara Tristan terus mencari tahu di mana alamat lengkap rumah Broto.

Dengan wajah siaga satu seperti itu, mereka seperti orang yang akan masuk ke medan perang, tidak akan ada petugas keamanan komplek yang akan membiarkan mereka lewat.

"Gotcha!" pekik Tristan. "Gue dapat alamat lengkapnya." Semua menarik napas lega tapi semakin tegang. "Tapi di sini katanya dia baru tinggal di sana lima tahun lalu. Mbak Nia sudah sama kita."

"Dari mana Nia dapat alamat Broto?" tanya Fabian seperti merenung.

"Ya sama kayak Tristan. Browsing."

"Ah, sudahlah. Yang penting tujuan Nia searah sama rumah Broto."

Semua diam. Membiarkan Fabian menghubungi Setiabudi dan melaporkan semua.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang