225, Sandaran Hati

88 22 22
                                    

Angkasa hanya berusaha tetap sadar sepanjang dia mengemudi. Tubuhnya mungkin tidak sesakit itu tapi mentalnya kadung hancur. Membuat dia sulit fokus dengan jalan dan kemudi.

Kepalanya menyuruh tangannya mengarahkan kemudi ke flat. Tapi yang terjadi dia melewati saja jalan ke arah flat. Sampai akhirnya mobil itu melambat ketika melewati gerbang sederhana sebuah komplek lalu berakhir di sebuah rumah di sudut jalan.

Laras baru sampai dari rumah makan ketika mendengar suara mobil menggeram di depan pagar. Mengenali mobil itu, dia terkejut lalu bergegas membuka pintu. Dia lebih terkejut lagi ketika melihat kondisi Angkasa ketika turun dari mobil. Lelaki itu berjalan seperti zombie. Dia hanya melirik sekilas Laras yang terpaku memeluk pagar lalu melewati saja tuan rumah untuk terus masuk ke ruang tamu.

Menginjak area teras, tubuh Angkasa terhuyung terkejut dengan perbedaan kontur tinggi yang lupa dia kenali.

"Dirga!" Laras langsung berlari dan sigap menangkap Angkasa.

Angkasa mengerang lemah. Membiarkan Laras memapahnya—memeluk—di pinggang lalu membantunya duduk.

"Kamu sakit, Ga?"

Angkasa tidak menjawab. Dia duduk setengah tidur di kursi itu.

"Badan kamu panas, Ga!" pekik Laras. "Kamu sudah minum obat? Sudah makan?" cecar Laras yang tetap tanpa jawaban.

Melihat Angkasa sekacau itu, tanpa menunggu jawaban Laras langsung bergerak. Dia menyiapkan minuman hangat dan membantu Angkasa menyesapnya. Dia mencari obat penurun panas yang langsung dia suapkan ke mulut Angkasa. Terbiasa di dapur, membuat Laras bisa cepat memasak. Dia hanya memasak seporsi sup sederhana yang dia beri telur sebagai pelengkap gizi. Nasi sisa pagi masih sangat layak. Menu itulah yang dia siapkan secepat mungkin untuk Angkasa.

"Makan dulu ya, Ga." Dia langsung menyuapi Angkasa tanpa pamit.

Menurut, Angkasa menerima suapan itu. Meski kunyahannya lambat dan beberapa kali seperti orang mau muntah, tapi dia tetap memaksakan dirinya menelan.

"Paksain aja ya. Yang penting kamu makan." Laras memberikan banyak kuah sup untuk menggelontor.

"Sudah, La." Angkasa melengos, menolak. "Mual." Dia menutup mulut seakan tangannya bisa menghentikan laju muntah itu. Dia tetap berusaha menahan.

"Iya, iya. Sudah dulu. Nanti makan lagi ya." Laras meletakkan mangkuk ke meja lalu memegang wajah Angkasa lagi. "Kepala kamu pusing nggak?"

Angkasa mengangguk. Laras langsung berdiri mencari minyak apa pun lalu dia berdiri di belakang Angkasa dan mulai memijat bagian kepala. Dari pelipis ke tengkuk.

"Kamu sakit begini kok ke sini sih?" Tangannya terus memijat. "Kalau ada apa-apa di jalan gimana?"

"Kadang aku merasa kayaknya mending seperti itu deh."

"Gimana?" Laras begitu terkejut sampai tangannya berhenti bergerak. Dia membungkuk untuk melihat wajah Angkasa.

"Aku berharap ada apa-apa di jalan."

"Kok kamu ngomong begitu sih?" Laras sudah duduk di samping Angkasa.

"Aku capek, La." Lirih mengeluh mendesah.

Laras langsung menggenggam tangan Angkasa. "Aku sudah tau soal kasus Pak Ian." Genggamannya mengerat. "Itu yang bikin kamu begini?"

Diamnya Angkasa dia anggap sebagai jawaban iya.

"Aku tau kamu dekat banget sama sahabat kamu itu." Tangannya mulai bergerak memijati tangan Angkasa.

"Aku yang bikin Ian sampai dipenjara. Aku yang kasih usul bangun sekolah."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang