204, Pusat Orbit Pergunjingan

110 29 4
                                    

Aurora memilih pulang alih-alih melanjutkan kelas. Sepertinya dia harus segera menghitung jatah bolos. Sejak menikah, dia sangat sering tidak kuliah. Padahal sebelumnya, dia nyaris tidak pernah absen. Nilainya terjaga sehingga bisa mengambil SKS full yang berakhir dia cepat bisa menyusun skripsi. Lalu lihatlah sekarang. Masih hitungan minggu, kuliahnya sekacau ini.

Mungkin dia memang salah langkah.

Bagi Aurora, hari itu berlalu begitu saja. Dia berusaha fokus dengan apa yang dia kerjakan. Dia menjalani pesan suaminya semalam. Menjaga Nad. Permintaan yang membuatnya hanya bisa menarik napas. Apa orangtuanya benar? Dia hanya akan dijadikan pengasuh anak.

Namun bayangan di ponsel Jagya menari-nari. Membuat pikirannya bercabang. Mungkin karena dia gelisah, terlalu banyak melamun, maka Nad pun gelisah.

Sepanjang sisa hari, Nad sangat rewel. Dia menangis ketika tidak menjumpai papanya di meja makan ketika sarapan pagi. Apalagi ketika harus ke sekolah tanpa Aurora. Dia menangis lagi ketika makan siang tanpa Papa atau Ibu. Tangisnya makin keras ketika dia gagal menelepon papanya. Itu yang terlaporkan dari pengasuhnya. Ulah Nad membuat Aurora makin yakin untuk pulang saja. Dia berusaha pulang secepat mungkin tapi tetap saja, dia hanya mendapati Nad yang tertidur setelah terlalu lelah menangis.

Malam pun sama. Nad jatuh tertidur setelah lelah dan mengantuk menunggu ayahnya pulang.

Pagi tak ada ayah, siang tak jumpa ibu. Malam pun sama.

Lagi-lagi Aurora hanya bisa menarik napas masygul. Dia tentu bisa merasakan kesedihan anak kecil ini.

Terenyuh,

Hatinya teremas sepanjang dia mengelus rambut anak kecil itu. Air mata masih tersisa di pipi gembilnya. Sesekali, bahkan isaknya masih terdengar di sela tidur.

Ya Tuhan...

Apa yang anak ini rasa? Apa yang dia bawa ke alam mimpi? Seandainya aku harus memilih, aku lebih memilih membuat dia menangis pagi setelah tidur, bukan malam sebelum tidur. Pagi, aku punya satu hari penuh untuk mengubah air mata menjadi senyum. Tapi malam, dia membawa sedihnya ke alam bawah sadar.

Tapi, sejak pagi dia gagal menaikkan mood Nad. Dia malah menghancurkannya. Ah, seandainya dia membolos sejak pagi untuk mengantar Nad, dia tidak perlu bertemu Jagya dan melihat isi ponselnya kan?

Mengingat itu, tanpa sadar tekanannya membelai menguat. Membuat Nad sedikit terusik dan bergerak. Menyadari itu, segera, Aurora menjauhkan tangan.

Dengan tangan memegang dadanya sendiri, Aurora menatap lagi wajah sendu Nad. Tak ingin gelisahnya lebih mengganggu anak itu, Aurora berpamit dengan menghapus air mata di pipi Nad kemudian mencium pipi bekas usapan tangannya lalu mengecup puncak kepala Nad, lama.

Setelahnya, dia berjalan ke kamar dengan langkah lemah. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan belum ada kabar sama sekali dari Angkasa. Seharian ini, beberapa kali dia menelepon suaminya, tapi gagal. Dia mencoba dengan nomor telepon lain, meminjam ponsel pengasuh Nad dan telepon rumah. Tapi semua tidak tersambung.

Rasanya mustahil orang sesibuk Angkasa mematikan total sambungan telepon.

Apa Aa memblokir nomor-nomor dari rumah?

Sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Membuatnya makin berantakan.

Ah,

Dia pun butuh menata hati.

Semenjak menikahi duda tampan, Aurora merasa hatinya bertrampolin. Hidupnya meluncur menanjak tak terduga. Dan kali ini, semua semakin berat dia tanggung karena Angkasa menjauhinya.

Ya.

Sangat jelas Angkasa menjauh. Dengan tidak bercerita apa pun, dengan pulang malam, dan pergi pagi buta.

B*llsh*t segala kesibukan kantor. Tidak ada kantor memulai operasional jam lima pagi.

Mengingat itu, hatinya menjadi semakin teremas. Duduk di tepi ranjang, lemah, dia sandarkan bahu ke kepala ranjang dan mendesah lemas di sana. Bahunya makin merosot tanpa tenaga ketika sebuah kata tanya melintas.

Kenapa? Iya. Kenapa? Kenapa Aa menjauhi aku? Apa salahku? Apa ini bukan salahku? Ini salah mereka. Aku hanya butiran debu yang terseret arus. Ah, iya. Ini memang salah mereka. Tapi ada juga salahku, kenapa aku mengiyakan lamaran itu. Seandainya aku belum menikah, tentu sekarang aku sedang asyik bergunjing dengan teman kampus dan rekan guru. Fakta bahwa si pusat berita adalah orangtua muridku tentu menjadi menyedap gunjingan itu. Tapi seharusnya cukup di situ, tidak perlu sampai aku yang menjadi bahan gunjingan itu. Ternyata, menjadi pusat orbit pergunjingan sangat tidak menyenangkan.

Malam makin jauh mendekati tengah. Dia meraih ponsel di nakas dan berusaha menghubungi Angkasa. Dan gagal lagi. Tidak tersambung. Aurora makin bingung.

Apa dia harus menghubungi Ari lagi? Haruskah dunia tahu urusan ini? Tapi ini sudah terlalu malam dan dia tidak tahu keberadaan suaminya. Bagaimana kabarnya? Apa suaminya baik-baik saja? Dia tahu Angkasa tidak baik-baik saja, of course, tapi paling tidak Aurora ingin tahu keberadaannya. Apa Angkasa masih tinggal di dunia yang sama dengannya?

Atau...

Dia sedang baik-baik saja. Dia sedang bersenang-senang. Isi ponsel Jagya menjelaskan itu kan? Suaminya tidak membutuhkan dirinya, karena itu dia bisa mengabaikan saja Aurora di rumah. Tidak perlu cepat pulang, tidak perlu laporan by phone. Itu alasan dia menjauhinya kan?

Apa yang harus dia lakukan? Mendadak dia merasa dunianya tertarik menjauh dari dunia Angkasa yang membumbung makin tinggi, tak tersentuh. Susah payah dia belajar terbang, jatuh terjerembab lalu berusaha bangun. Mengepakkan sayap membusungkan dada mengisi pundi-pundi udara. Semua kembali berantakan ketika hati kecilnya berbisik bahwa lelaki itu menjauhinya. Dan dia yakin apa alasan lelaki itu menjauhinya.

Helai sayapnya rontok seperti kepercayaandirinya yang meluntur.

Lalu untuk apa dia di sini?

Oh, iya. Dia hanya butuh ibu untuk anaknya kan?

Bukankah dia ada di sini karena permintaan Nad? Dan bukankah papa Nad memang mengatakan itu ketika melamarnya?

Hati Aurora kembali teremas. Ada sakit yang seketika hadir menyengat dan menyebar ke semua sudut-sudut hati. Tertohok, terusir lalu terpojok di salah satu sudut yang sempit dan gelap.

Terisolir sendiri. Tersisih.

Segera dia memastikan semua baik-baik saja. Hanya ada luka memar yang bisa segera dia tutupi dengan senyum. Cukup didiamkan saja. Luka itu akan sembuh tanpa bekas. Iya kan?

Aurora tidak mencoba menelepon Angkasa lagi. Dia hanya menunggu bersama dirinya sendiri dan pikiran-pikiran yang menyertainya.

Malam benar-benar sudah melewati tengah. Dan tetap tanpa ada kabar. Kali ini Aurora menunggu tanpa cemas. Dia tahu suaminya 'baik-baik' saja. Dia cukup menunggu saja. Ada yang mengurusnya, dan dia dibutuhkan di sini hanya sebagai ibu untuk anaknya.

Hampir jam dua dini hari ketika dia mendengar mobil mennggeram di luar. Tanpa diburu waktu, Aurora keluar kamar dan berjalan menuju pintu tengah. Dia menunggu Angkasa keluar dari mobil untuk menyalimi tangannya.

"Olla siapin makan, A?" tanyanya sambil mengekor.

"Nggak usah."

Aurora mengangguk mafhum. Tahu diri.

"Gimana Nad?" tanya Angkasa tanpa menghentikan langkah.

"Nangis. Tapi A tenang aja. Olla bisa pegang dia." Itu tugas dia kan? Itu guna keberadaan dia di rumah ini kan?

"Terima kasih." Datar. Angkasa tetap melangkah dan Aurora tetap mengekor meski dia menjawab sambil menunduk.

Kedataran yang membuat hati Aurora tercubit lagi.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang