260, Teardrops

116 27 8
                                    

Jagya jatuh pingsan sementara Angkasa tetap sadar. Mendapati anaknya jatuh, Angkasa berusaha bergerak tapi kakinya patah.

"Tolong, Pak. Tolong anak saya."

"Lha kenapa tu anak yang pingsan?" cetus seorang penolong. "Yang berdarah malah sadar. Perasaan tadi tu anak nggak kenapa-kenapa deh." Dia terus berceloteh sambil bekerja.

Angkasa tidak bisa bergerak. Dia tetap sadar meski kepalanya penuh darah. Mobil yang nyaris menabrak Jagya membawa Angkasa dan Jagya ke rumah sakit. Merasa dia baik-baik saja, dia mempersilakan para penolong pulang setelah mengucapkan terima kasih. Dia ingin mengurus Jagya, tapi tentu tidak bisa. Kakinya patah. Pasrah, dia menelepon Tristan yang terbirit menghampirinya. Menyusul Fabian dan Ari. The wives tentu tidak diberitahu.

Tiga orang itu bertemu di rumah sakit.

"Ada apa lagi sih ini, ya Tuhaaannn..." Fabian menggaruk kepala yang tidak gatal lalu menarik keras rambutnya.

"Kata dokter Aa sadar terus kok. Pas nelepon gue suaranya juga nggak kayak orang sekarat. Sekarang lagi CT scan, khawatir pendarahan epidural. Kakinya patah dua."

"Ampun deh, A ... setelah patah hati sekarang patah kaki. Sue banget sih lu." Fabian sedikit bersyukur dengan penjelasan singkat Tristan. "Harus ditumpengin tu anak."

"Kayak lu nggak aja, Bang."

"Iya, gue berdua harus dislametin."

"Pak," tiba-tiba seorang tenaga kesehatan menyapa mereka. "Korban yang pingsan sudah boleh dijenguk."

"Hah? Pingsan? Abang saya nggak pingsan, tadi dia yang nelepon saya suruh ke sini." Tristan memasang wajah bodoh.

"Bukan, Pak. Bukan yang luka. Yang satu lagi."

"Lha?" Tapi bertiga mengikuti arahan petugas kesehatan itu.

Ketika melihat siapa yang tergeletak di brankar, ketiganya menarik napas panjang.

"Gya, kenapa lu di sini?" tanya Tristan cepat.

"Bapaaakkk...." Lirih.

"Hah?" Tristan dan Fabian berpandangan.

"Dia bilang bapak apa papa sih? Gue nggak bolot kan?" tanya Tristan lebih pada dirinya sendiri masih dengan wajah bodoh.

"Sejak kapan Aa dipanggil bapak?" Fabian ganti bertanya.

Ari yang mengamati di kaki ranjang mengangguk-angguk.

"Lu kenapa jadi mainan mobil lagi, Ri?"

"Anak ini melihat kecelakaan di depan matanya. Dia terbayang waktu bapaknya kecelakaan. Pram."

Fabian dan Tristan mendelik lalu menepuk keras dahi masing-masing. Setelahnya, Fabian langsung membungkuk mendekat ke wajah Jagya.

"Nak..." Dia membelai kepala Jagya. "Papa kamu nggak kenapa-kenapa. Sekarang lagi diperiksa." Jagya masih diam. "Angkasa bukan bapak kamu, Gya."

Tristan mendelik ke arah Fabian. Lalu Fabian bingung sendiri menyadari arti kalimatnya. Lalu bingung memperbaiki kalimat itu.

"Angkasa bukan Pram, Jagya." Suara Ari.

Namun anak itu tetap diam.

"Perlu nelepon ibunya nggak?" tanya Tristan.

"Jangan dulu. Nanti panik nggak jelas. Nggak tau panik buat anaknya apa panik buat bapak anaknya. Bikin riweuh aja." Berbisik.

"Pertemukan dia dengan Angkasa." Ini jelas siapa yang berkata.

"Lha, gimana bisa? Bapaknya aja lagi diperiksa."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang