231, Kabar [Sangat] Buruk

86 24 14
                                    

Waktu makan hampir habis, tapi Fabian masih tergeletak di ranjang.

Jika tidak merasa harus sehat Fabian tak akan bangkit dari ranjang. Perutnya tidak merasa lapar dan mulutnya pun malas mengunyah. Namun demi istri dan anak-anaknya dia tidak boleh sakit. Meski sekarang dia tidak berguna paling tidak jika dia sehat dia tidak menambah beban pikiran mereka. Mengingat itu, perlahan dia bangkit. Duduk sejenak di ranjang, mengacak rambut sambil membuang napas kasar.

Ketukan di jeruji besi membuatnya mendongak.

"Ayo makan, Nak." Lelaki paruh baya tersenyum ramah mengajaknya.

"Iya, Pak." Tapi dia belum berdiri.

"Ayo sama Bapak," ujar lelaki paruh baya itu sambil tersenyum sementara tangannya memegang jeruji yang tak tertutup. Perlahan Fabian bangkit. Lalu mereka jalan bersisian.

"Kamu harus makan. Harus sehat." Bapak itu menyodorkan nampan makan untuk Fabian lalu mengarahkan agar dia berdiri di depannya.

"Iya, Pak."

"Makan yang banyak." Dia menahan tangan Fabian yang terjulur menghentikan petugas menyendokkan nasi di piringnya. "Kamu belum lama di sini sudah kurus begini. Kasihan istri kamu, mikirin kamu. Ngelihat kamu kurus nanti dia makin kepikiran."

Mendengar itu, Fabian seperti ingin memasukkan ransum makan beserta wadahnya sekalian. Tapi ketika dia sudah duduk berhadapan dengan si Bapak dan mulai menyuap makanannya, selera makannya kembali lenyap.

"Makan. Nggak usah dirasa-rasa. Telan saja."

Nasihat itu seperti jalan hidup yang sedang dia lakoni. Terlalu sakit, tidak usah dirasakan, dijalani saja.

Menarik napas, Fabian mengangguk dan mulai mengunyah. Duduknya menghadap LCD besar yang sedang menayangkan berita. Berita terganti dan dia terhenyak mendengar pembaca berita berbicara.

"... Anggrek Bulan Samudra baru saja dilarikan ke rumah sakit..."

Hanya itu yang dia dengar. Lalu dia melihat brankar yang berisi tubuh istrinya menghilang di balik pintu IGD dan Ari yang tak bisa ikut masuk berbalik mengibas tangan di depan kamera dengan wajah dinginnya.

"No comment." Hanya itu jawaban Ari dan langsung melengos pergi. Ucapan reporter lapangan tidak terdengar lagi. Dia sudah berdiri dengan mata mendelik menatap LCD. Dia bisa melihat dengan jelas jejak darah di kemeja Ari.

Beberapa detik dengan pikiran kosong yang cepat berubah menjadi kalut, tak tahu harus berbuat apa sampai dia merasa harus segera bisa menghubungi Ari. Pikiran itu yang membuat kakinya bergerak, setengah berlari ke arah pos.

"Saya harus menelepon. Sekarang." Dia berkata pada seorang petugas di sana. Mungkin petugas itu sudah mendengar berita karena tanpa bicara lagi dia mengulurkan ponsel pribadinya pada Fabian yang segera dia sambar lalu menekan angka.

"Ri."

"Sabar, Fabian."

"Kenapa?"

"Aku belum tahu."

"Ada apa?" desisnya, gemas dengan jawaban adiknya. "Kenapa bisa?"

"Sabar."

"REY KENAPA, ARI?"

Ari masih diam. Aku harus jawab apa?

"Sampai harus ke rumah sakit dan didorong brankar? Separah apa?"

"Rey jatuh, pingsan, dan berdarah." Itu kenyataannya. Tapi Ari tetap tak mengatakan kenapa sampai Rey berdarah.

Untunglah ada dinding di dekat Fabian. Tempat dia langsung meluruhkan tubuh yang mendadak tak betulang itu.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang