Tidak setiap hari mereka diizinkan menjenguk Fabian. Seperti hari ini. Ari dan Tristan sudah ke kantor. Para orangtua memutuskan pulang dan menunggu kabar di rumah masing-masing. Non ada jadwal praktik.
Sepertinya Rey sudah harus membiasakan diri dengan kehidupan seperti ini. Rumah kembali sepi. Yang dia tunggu pulang sisa si kembar. Di bagian ini, dia kembali ingin meraung. Namun, bukankah dia sudah meneguhkan hati untuk terbiasa dengan ritme baru hidupnya? Dia harus menghapus sementara bagian menunggu Fabian pulang meski dia tetap berusaha meyakinkan dirinya bahwa kondisi ini tidak akan berlangsung lama.
"Rey, makan dulu ya, Dek." Nia menyentuh bahunya lembut. "Mbak sudah masak soto ayam. Segar deh siang-siang makan soto." Tangan Nia turun mengelus perut Rey. "Makan yuk, Nak."
Tersadar, Rey mengikuti tarikan tangan Nia. Melihat meja makan masih kosong, dia berjalan ke kamar Dinda. Tapi mereka bertemu di ambang pintu.
"Makan yuk."
"Gue nggak usah dijemput kalau makan." Dia merapikan gelungan rambutnya. "Males banget sih, tapi gue harus sehat 1000% biar Ari nggak mikir macam-macam. Ayo, lu juga makan yang semangat. Kak Ian akan tenang kalau tau lu sehat."
Rey mengangguk.
"Ambil dikit-dikit dulu aja, Rey." Dia menyendokkan nasi ke piring Rey. Hanya seujung sendok nasi. "Biar kita nggak kebeban lihat gundukan nasi. Kalau habis, tambah lagi sebagai hadiah karena kita bisa habisin yang tadi. Kalau habis lagi, tambah lagi, hadiah buat anak kita. Habis lagi, tambah lagi, hadiah buat ayahnya. Gitu aja terus sampai begah."
"Tapi lama banget makannya."
"Kita juga nggak dikejar-kejar kerjaan." Dia menyendok untuk dirinya sendiri ketika Nia menyendokkan soto ke mangkuk untuk Rey. "Sekarang kerjaan kita makan. Bersyukur aja dikasih kerjaan seperti itu. Nggak perlu cari makan. Jangan ngeluh."
Nia mengambil mangkuk lain untuk Dinda.
"Lu kuat banget sih, Dee."
"Laki gue lagi nggak sehat. Gue harus kuat. Nggak boleh menye-menye. Lu juga harus mikir begitu." Dinda menepuk bahu Rey. "Nggak usah banding-bangingin. Sama aja beratnya. Gue masih bisa minta dikelonin, lu nggak bisa. Tapi si Ari lagi gila, sementara Kak Ian waras banget."
Nia mengangguk-angguk menyemangti Dinda yang menyemangati Rey. Mereka makan bertiga. Benar-benar lama. Sampai Nia selesai memasak puding buah dan vla dua ibu hamil itu masih menghadapi piring makan mereka.
"Ini buat cemilan ya. Sekarang kalian tidur dulu aja. Nanti anak-anak sama Mbak aja."
Rey hanya bisa memeluk Nia sebagai ucapan terima kasih. Dialah Reyna. Ratu di rumah ini.
***
Dua lelaki itu memang datang sebelum gelap, tapi mereka melanjutkan kerja di ruang tengah atas, tempat Fabian biasa bekerja.
"Kata Vega Angkasa tadi pergi jam tiga. Sampai kita pulang, dia tidak kembali ke kantor. Apa dia pulang ke rumah?"
Tristan menggeleng. "Nggak. Dia ke tempat Laras lagi."
Ari menggebrak meja, membuat Tristan terlonjak.
"Kalau pun dia abai pada kondisi adiknya di sini, paling tidak dia berlaku seperti lelaki terhormat."
Tristan yang sudah pulih dari keterkejutannya mendesah.
"Aa yang kayak gini yang bikin dulu Nana ragu."
Ari tertegun.
"Mungkin ini alasan kenapa Nana pergi. Dia nggak perlu merasakan hal yang dia takutkan. Dia tidak perlu tau Aa bolak balik datang ke rumah Laras."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomantikPengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...