255, Nyonya Brotoseno [2]

88 24 2
                                    

Apa ini puncak fakta yang terbuka? Sepertinya begitu. Tidak ada lagi yang harus mereka ketahui. Bahkan alasan Broto pun sudah terbuka.

Tidak seperti kemarin, pagi ini semua berkumpul dalam diam dan kondisi tegang. Begitu cepat semua berbalik arah.

Fabian yang biasanya tenang kali ini merasa otaknya buntu. Dia yang dulu bahkan bisa mendapat donor untuk Dinda kali ini menyerah. Dia membiarkan Tristan mencari pengawal untuk mereka termasuk menunjuk siapa mengawal siapa. Angkasa dan Ari menambah CCTV di sudut-sudut lain. Sekarang tidak ada sudut tersembunyi di sana.

Untuk sementara, semua akan tinggal di rumah itu yang mendadak menjadi seperti barak pengungsi.

Fabian makin mati akal ketika Nia semakin sulit ditenangkan. Non terpaksa menambah dosis penenang untuknya. Namun sampai kapan?

"Mbak harus pergi, Non..." Dia merintih. "Kalau aku tetap di sini kalian semua akan terancam."

Bocah-bocah sudah ke sekolah. The husbands antara bersiap ke kantor atau tetap di rumah. The wives minus Aurora pasti tetap di rumah.

"Kalau kayak gini kita justru harus ngumpul, Mbak. Biar bisa saling jaga, saling ngawasin."

"Tapi gara-gara Mbak semua jadi sasaran Mas Seno."

"Sudah, Mbak tenang aja. Kan sekarang sudah ketauan, jadi kita sudah tau siapa yang kita hadapi." Penjahatnya sudah ketauan, Mbak. Kita nggak nembak sambil tutup mata, lanjut Non dalam hati. Dia menghindari melabeli Broto dengan kata penjahat. Itu bisa makin membuat Nia ketakutan.

Di ruang tengah, semua terus berkoordinasi. Minus Fabian yang kali ini menjadi super bodoh. Tidak habis pikir bahwa ada orang sejahat itu bahkan pada orang yang tidak dia kenal.

"Trist, bodyguard yang buat adek-adek di rumah panggung sudah sampai belum?" Fabian duduk merosot nyaris tidur di sofa sambil memijat pangkal hidung. "Apa panggil aja semua ke sini?"

"Otw, Bang. Begitu sampai mereka akan langsung laporan," jawab Tristan setelah mengecek ponsel.

"Menurutku, mereka aman. Broto sudah tidak mengincar mereka. Dia sudah mengincar kita. Bahkan langsung kamu yang jadi sasaran tembaknya."

Kali ini Fabian bukan makin merosot, dia mengentak tubuh lalu berdiri dan memandang sekeliling rumah.

"Mending sekalian dia tembak gue daripada semua jadi papan dart dia."

"Ian!"

Fabian langsung membalik badan ke arah Rey. "Mending satu jadi tumbal daripada semua."

"Nggak ada yang boleh jadi tumbal. Non, Trisha, Tristan bisa selamat padahal waktu itu kita nggak tau siapa penjahatnya. Sekarang kita tau, kita bisa antisipasi. Cukup rumah itu aja yang terbakar."

"Dia makin brutal, Rey. Dan akan makin nekat karena sudah ketauan. Sampai motifnya pun kita tau."

"Watch your words, Fabian." Rey bergeming. "Jangan sampai kedengeran malaikat."

"Rey benar, Ian." Papi angkat suara melerai dua anaknya. "Kita sudah tau penjahatnya. Kita bisa antisipasi."

"Bang, mereka sudah sampai di rumah." Tristan menunjukkan ponselnya pada Fabian. Hanya foto-foto kondisi rumah yang aman.

"Berapa orang?"

"Tiga."

"Itu cukup?"

"Lu mau berapa orang, Bang? Sekompi? Memang mau nyerang? Tiga orang itu kalau terdesak juga bisa fight kok."

"Mana gue tau, Tristan. Gue cuma mau mereka aman."

"Yang ke sini juga sebentar lagi sampai. Sementara itu dulu aja. Untuk kita masih bisa dikondisikan."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang