Malam itu, semua bermalam di sana. Tristan dan Non memakai kamar Rey yang dulu sementara Kate ke kamar Nia. Bumi bergabung dengan Nad di kamar Tari.
Fabian menyerah menenangkan Rey. Dia membiarkan Rey terisak. Hanya memeluk dan mengelus sampai istrinya jatuh tertidur meski tak lelap.
Pagi itu hari dimulai dengan suasana suram dan menegangkan. Bahkan bisa disebut mencekam. Mereka warga negara yang patuh hukum, tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum. Dan dalam waktu kurang dari satu bulan Fabian dua kali ke kantor polisi. Kemarin melaporkan, sekarang dilaporkan. Bukan perkembangan yang baik.
Hari masih pagi, tapi anak-anak kecil itu sudah pergi ke sekolah. Membuat mereka yang dewasa lebih bebas berekspresi. Non dan Nia sudah meninggalkan dapur sejak tadi, tanda makan pagi sudah siap. Tapi isi meja hanya disentuh anak-anak. Tumpukan piring masih rapi di sudut meja makan.
Suara dari luar terdengar seperti ada tamu.
"Paling Pak Setiabudi." Tristan menjawab pertanyaan tak terucap dari setiap mereka.
Tapi dua orang yang muncul dari balik pintu membuat semua terlonjak dari kursi masing-masing.
Mami dan Papi.
Ari langsung menyalimi Papi, Fabian langsung memeluk erat Mami.
"Are you okay, Ian?" tanya Mami.
"Ada juga Ian yang tanya Mami. Mami nggak apa-apa kan? Sampai langsung ke sini."
"Sejak urusan yang donor kami mau ke sini. Tapi ya beginilah. Baru bisa sekarang."
Yang lain bergantian bersalim dan memeluk dua orangtua itu. Sampai akhirnya giliran Kate.
"Finally, I can meet Fabian's mom." Dia tersenyum, lalu memeluk Mami dengan sangat kuat.
"Mami juga mau sekali ketemu sama orang yang urus Fabian waktu sakit di Paris." Mami balas memeluk. "Terima kasih ya, Sayang. Sudah urus Ian waktu itu."
Suasana itu seharusnya canggung jika mengingat atas dasar apa cerita itu terjadi. Namun ketulusan Kate membuat semua cair.
"Be my mom, Mi."
"Of course, you're my daughter, Kate."
Tiba-tiba bayangan Sophia berkelebat di benak Ari. Seandainya dia tidak sebodoh waktu itu, pasti Sophia sempat merasakan cinta Mami yang seperti tidak ada habisnya.
Sambutan itu akhirnya berakhir. Semua duduk tersebar di ruang tengah dan meja makan. Aurora yang orang baru lebih banyak diam duduk bersebelahan dengan Nia dan Non di kursi meja makan. Bertiga seperti peserta cerdas cermat.
"Jadi bagaimana urusan yang sekarang?" tanya Papi membuka suara.
"Kita tunggu Pak Budi datang baru ke kantor polisi." Fabian menjawab.
"Kamu saksi?"
"Panggilannya seperti itu."
"Tapi kasusnya penyuapan."
Fabian mengedikkan bahu.
"Ian, Papi cuma mau tanya satu hal aja."
"Apa?"
"Apa berita itu benar?"
"Apa?"
"Kamu nyogok."
Fabian berdiri dari duduknya. Dia menyugar rambut dan bertanya, "Menurut Papi?" Dia bersandar di konsol.
"Papi tanya kamu." Papi ikut berdiri.
"Gimana Papi kenal aku? Gimana Papi didik aku?"
Diam.
"Papi mau jawaban kamu, Nak."
Diam.
"Nggak! Semua itu nggak benar. Aku transfer untuk urusan pembebasan tanah. Kalau sampai aku dituduh nyogok, aku difitnah, Pi."
"Kamu masih anak Papi kan, Nak?"
"Aku selalu jadi anak Papi."
"I'm proud of you."
"Papi nggak masalah aku masuk penjara?" Dia tidak lagi bersandar, dia berdiri utuh tegak di atas kakinya.
Papi terbahak. "Kita masih hidup di dunia, Ian. Di wilayah abu-abu yang sangat lebar. Salah dan benar masih bisa dibolak-balik. Nanti ada masanya, saat semua jelas, tidak bisa direkayasa. Saat masa itu datang, Papi mau, kita berdiri di sisi yang sama." Dia menatap tajam mata anaknya. Bertemu, lekat. Ayah dan anak. Lelaki dengan lelaki.
"Kita selalu bersama, Pi. You've done your very best for that." Fabian membalas tatapan mata ayahnya dengan takzim. Walau tubuhnya kuat berdiri tapi dia luruhkan tubuhnya jatuh terpuruk di kaki ayahnya. "Aku nggak akan mengakui apa yang nggak aku lakukan. Tapi kalau memang aku harus dipenjara, ya sudah, aku jalani aja. Aku nggak akan ambil jalan singkat untuk bebas."
"Jalani takdirmu, Nak..."
"Restui aku, Pi."
"Restu kami bersama aliran darahmu."
Selalu seperti itu.
Ayah dan anak yang saling menguatkan. Menantang dunia yang kacau balau dengan semua daya yang sudah mereka kumpulkan sejak masih dalam kandungan. Sejak roh ditiupkan, diiringi semua doa yang bisa dipanjatkan, berharap mereka selalu berada di sisi yang sama. Tak peduli jika harus terpisah, berusaha abai dengan hal lain, mencoba setegar karang. Bersama membangun surga di dunia. Lalu di ujung sana menanti sesuatu yang kekal.
***
Setiabudi, pengacara ayah Tristan, jasanya tetap Tristan pakai ketika dia melanjutkan perusahaan Trisnayuda. Ketika dia bergabung dengan S-Corp., Setiabudi malah menjadi pengacara mereka. Termasuk di urusan donor dan foto lalu berlanjut di urusan yang lebih rumit sekarang.
Dia datang tak lama setelah kedatangan Papi dan Mami. Dia menjelaskan status Fabian dan risiko terburuk. Sejak satu dekade lalu, tikus-tikus negara memang kurus terjepit. Lembaga anti rasuah menunjukkan taring. Seakan menangkap maling negara adalah daya hidup mereka. Mungkin secara nominal, kasus yang membelit Fabian termasuk angka kecil, tapi lembaga itu tentu mengincar hal besar di balik hal kecil. Kurang lebih seperti itu penjelasannya.
Hal yang sedikit melegakan adalah ini bukan operesi tangkap tangan yang langsung sebagai tersangka tanpa tapi. Untuk kasus Fabian, masih ada celah untuk berkelit. Mendengar kata berkelit, Fabian protes keras. Bahwa itu bukan berkelit, tapi fakta.
Orang yang disebut Kate sebagai Manuel Alberto tidak terlacak. Tapi akan segera terlacak. Dia bukan Harum Nasiku yang tidak terlacak karena lembaga yang sekarang sangat-sangat serius mencari maling. Dee benar, the husband sudah tau siapa Manuel Alberto. Salah satu timses bakal calon kepala daerah. Jika sudah seperti ini, bisa saja yang bersangkutan bukan pelaku, tapi malah korban seperti Fabian. Sepertinya ini bukan kasus kecil. Semua hanya sebagai pion yang dikorbankan untuk raja bisa berkuasa.
Lalu apa hubungannya dengan Fabian? Kenapa pula dia tersangkut? Fabian dipakai untuk menjerat Manuel. Manuel dipakai untuk menjegal bosnya.
Mendengar teori konspirasi seperti ini, otak Fabian berasap. Bukan hanya karena marah tapi karena otaknya tidak dirancang dan tidak pernah dilatih untuk menjadi sejahat itu.
Pengacara itu mengatakan bahwa untuk panggilan yang pertama ini, Fabian bisa mangkir. Tapi Fabian menolak usul itu. Mangkir dari panggilan justru bisa membuat orang menilai dia bersalah. Kalau memang benar, mengapa harus mangkir dari panggilan itu? Pendapat yang Papi iyakan.
Diantar Ari dan Papi dan tentu saja pengacara, mereka pergi memenuhi panggilan itu. Berjam-jam berlalu sampai akhirnya Ari meminta Tristan menjemput Papi. Tubuh tuanya mulai melemah, lelah terlalu lama duduk menunggu. Sudah cukup Papi mendukung Fabian dengan cara datang dan menemani beberapa jam ini. Angkasa mengganti posisi Papi menemani Ari.
Hari menjadi gelap. Hitam utuh menjadi malam. Tapi Fabian masih tertahan dengan pertanyaan yang menjemukan. Menjelang tengah malam, setelah sepuluh jam pemeriksaan, keputusan langsung keluar. Fabian dinyatakan bersalah dan statusnya langsung naik sebagai tersangka. Malam itu juga dia tidak diizinkan pulang.
***
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...