240, Sebelum Semua Makin Rusak

128 25 31
                                    

Aurora masih di kamar Nad. Masih melirihkan kata sayang dan rindu dan cinta. Nad yang tetap tenang sedikit membuat Aurora tenang, dia tidak mengganggu nyenyak gadis kecil itu. Tapi ketenangan itu juga mengusik sisi hatinya yang lain. Bahwa ikatan mereka tidak sekuat yang dia mau. Keresahan hatinya tidak menyentuh hati Nad.

Ah, dia memang hanya ibu sambung.

Dia makin tersisih. Terpinggir ke tepian hati Angkasa yang mulai berhias bunga-bunga indah. Cinta mereka berdua bermekaran lagi. Dan dia makin tersisih, menepi tidak berarti.

Andrew masih duduk di posisi semula. Hanya melihat Aurora tanpa suara sama sekali.

Hari makin menuju tengah. Sudah satu jam dia di sini. Saatnya dia pergi.

Dia membelai kepala Andrew dan menggaruk lembut perut si kucing. Lalu menunduk menciumi wajah Nad. Setelahnya, dia bergerak bangun. Berdiri sesaat menatap Nad dengan senyum miris yang tipis dan airmata mengalir lagi.

"Goodbye, Nad. Ibu sayang Nad."

Berbalik, meski berat tapi dia tetap melangkahkan kaki. Ke kamar, mengambil barang, lalu pergi.

***

"Iya, Ga. Aku mau. Nggak masalah. Yang penting aku bisa sama kamu lagi."

Mendengar jawaban Laras, pandangan Angkasa semakin berisi. Dan wajah-wajah itu kembali mendekat. Semakin dekat membuat dinding pemisah semakin tipis dan serapuh sayap kupu-kupu. Bibir-bibir itu sungguh sudah nyaris bertemu ketika Laras menolehkan wajah sehingga bibir Angkasa hanya mengecup rahang. Gairah yang berkumpul membuat kecupan itu bertahan lama di sana bersama waktu yang Angkasa butuhkan untuk meredam hasrat.

Mendesis, dia berusaha meredam makian dari sela bibir. Makian itu untuknya yang semakin sulit menahan rasa. Sampai keduanya menjauh dan Angkasa duduk bersandar dengan napas terengah.

"Maaf, Ga..." Laras pun sama. Dia harus berjuang menguasai gairahnya. "Kita lebih bodoh dari keledai kalau mengulang kesalahan yang sama."

Angkasa tidak peduli disebut binatang apa pun. Kenyataannya, celananya terasa sesak dan itu yang membuat tubuhnya meremang. Laras menyadari itu. Dia melihat sesuatu lebih menggembung di tengah tubuh Angkasa.

Satu kali yang dulu benar-benar berputar ulang seperti nyata sekarang. Dan dia tidak bisa membohongi Angkasa apalagi dirinya sendiri bahwa dia pun menginginkan satu kali kebersamaan itu terulang sekarang.

Tapi mereka bukan remaja labil lagi. Umur mereka sudah berkali dua dari waktu itu. Sungguh, mereka adalah sebodoh-bodohnya makhluk jika tidak bisa mengendalikan nafsu.

Menjinakkan juniornya tidak segampang membangunkannya. Apalagi dengan kerinduan yang memuncak. Sangat berat menjauh ketika dia ingin menerkam Laras.

"Aku juga minta maaf, La...."

Maaf sudah mengacaukanmu lagi. Membuatmu lupa diri.

Masih dengan napas yang belum teratur, tangan Angkasa terjulur meminta tautan. Laras menerima dan tangan itu saling menggenggam.

"Apa kamu sudah ngomong sama istri kamu?" Suaranya pelan saja.

"Aku cuma bilang, kalau dia mau pergi, aku terima."

"Kenapa kamu ngomong begitu?"

"Aku tuh nggak pede sama Olla, La. Aku merasa aku yang merusak semua. Semua yang aku pegang, aku rusak. Bahkan kamu pun aku yang ngerusak kan?"

"Kamu?" Laras berkerut kening, bahkan sampai memiringkan tubuh agar bisa lebih jelas melihat Angkasa. "Kamu nggak pede?"

Angkasa mendengus sambil menyugar ranbut. "Kamu nggak tau kayak apa rasanya dibombardir gini. Jagya muncul, aku merasa bersalah banget. Sama Gya, sama kamu. Sama Fabian malah ditambah malu. Apalagi gara-gara Gya, anak aku, Fabian jadi harus riweuh klarifikasi. Lalu foto mereka, gara-gara aku juga lancang masuk kamar mereka. Apalagi pas aku tau Jagya yang sebarin. Sekarang, Fabian sampai dipenjara," dia menarik keras rambutnya, "Gara-gara eksekusi usul aku. Lalu Jagya lagi yang bikin rusuh." Tangannya mencengkeram keras tepi kursi sementara yang menggenggam Laras menggenggam lebih keras lagi. "Terakhir Rey keguguran juga gara-gara aku."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang