203, Salah Langkah

109 30 6
                                    

"A...." Suara lembut namun cemas itu diiringi sentuhan lemah di bahu tapi bisa menyentak Angkasa, menariknya lagi ke dunia nyata yang sekarang. "Are you okay, A?"

No, I'm not okay.

"I'm fine," jawab Angkasa tanpa membalik tubuh. "Sudah malam, kamu tidur aja."

Tubuh Aurora yang sudah setengah jalan bergerak ingin mendekat ke Angkasa langsung membeku di tengah jalan.

"A..." Tangannya terjulur tak jadi menyentuh.

"Aku titip Nad aja ya."

"A...."

"Aku lagi nggak bisa ngurusin dia. Tolong kamu yang pegang Nad ya. Please."

Kata terakhir itu membuat Aurora semakin kaku di tengah gerakan. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali mengangguk meski Angkasa tidak melihat.

***

Hari masih sangat pagi. Bahkan terlalu gelap untuk disebut pagi. Namun bola mata Angkasa sudah bergerak-gerak di dalam kelopak. Tak lama, kelopak itu membuka dan langsung melirik jam di dinding. Waktu subuh pun belum datang. Dia melirik ke samping, ke arah istrinya yang masih lelap.

Tidur tak lelap membuat kepalanya pening dan terasa semakin pening ketika melihat Aurora.

Apa dia membuat kesalahan yang lain dengan mengajak gadis muda ini masuk ke kehidupannya?

Tak ingin kegelisahannya mengganggu tidur Aurora, Angkasa memalingkan wajah dan bergerak pelan untuk bangun dari ranjang.

Tak tahu harus melakukan apa, dia memilih mandi. Luka di lengan sudah jauh lebih mengering. Hanya sengatan ringan ketika dia menyemprot luka itu dengan alkohol. Dia berusaha menormalkan semua gerakannya termasuk tidak berlama-lama di kamar mandi. Sudah dua kali Aurora memaksanya keluar dari kanar mandi.

Angkasa sedang memasang dasi ketika Aurora menggeliat. Matanya langsung membulat ketika melihat suaminya sudah rapi. Dia sampai menggosok-gosok mata memastikan dia tidak salah lihat atau masih tidur dan sedang bermimpi.

"A ... a ..." ujarnya terbata-bata

Angkasa menoleh dan sedikit terkejut melihat Aurora sudah duduk di tengah ranjang.

"Ini jam berapa ya?" Dia sibuk menoleh ke jam dinding dan keluar jendela. "Mendung banget ya?" Memastikan jam tidak mati dengan kegelapan di luar. "Astaga, Olla kesiangan." Dia bergegas hendak berdiri.

"Nggak, La. Ini memang benar belum subuh." Angkasa mengambil jas dan hanya menyampirkan di lengan.

"Aku pergi dulu," pamitnya datar.

"Aa mau ke mana pagi-pagi begini?" Otak Aurora seperti sulit mencerna informasi.

"Nggak."

Jawaban apa itu? tanya Aurora dalam hati.

"Aku pergi dulu." Angkasa langsung melangkah.

"Eh, Aa..." Tergagap bergegas menyusul Angkasa, "A nggak makan dulu?"

"Nggak usah. Masih kenyang." Angkasa tetap berjalan.

"Olla bikinin teh ya? Apa kopi?" Aurora tetap mengekor.

"Nggak usah. Titip Nadya aja." Dia sudah menutup pintu mobil nyaris membanting meninggalkan Aurora yang terdiam seperti patung.

***

Setelah Angkasa pergi, Aurora tidak bisa tidur lagi. Membuka-buka diktat kuliah pun tidak berguna. Kepalanya terlalu riuh.

Dia memulai hari apa adanya, termasuk merayu Nad agar mau ke sekolah diantar supir. Dia harus ke kampus untuk kuliah pagi.

Sebenarnya dia hanya menyetor tubuh. Di kelas dia lebih banyak melamun daripada mendengar penjelasan dosen. Dia tahu, banyak pasang mata menatapnya ingin tahu. Kasus donor yang merembet ke identitas Jagya masih hangat. Dan kembali panas ketika urusan foto menjadi viral. Fakta bahwa dia ibu sambung Jagya tentu semakin menarik untuk digunjingkan.

Sampai kelas selesai, Aurora merasa materi yang dia terima tidak ada. Dia berusaha menghindari orang termasuk teman-temannya. Dia tidak dalam mode ingin bergunjing. Siapa pula yang mau mengaktifkan mode itu ketika yang akan menjadi bahan gunjingan adalah dirinya sendiri.

Menunggu jeda kelas berikut, Aurora memilih perpustakaan. Setelah mengambil sebuah buku acak, dia pun mencari sudut yang tersembunyi dari pandangan orang. Dia mendapatkan apa yang dia mau. Tempat untuk melarikan diri. Meski masih ada yang mengenalinya tapi tidak terlalu mengganggu. Dia akan menjadikan tempat ini sebagai tempat pelariannya.

Saat ini, alih-alih membaca, dia malah berkirim pesan teks dengan ibunya. Mengabarkan kondisinya termasuk kondisi Angkasa. Sampai tiba waktunya dia kembali ke kelas, dia berpamit pada ibunya.

Dia berusaha memasang wajah datar. Berjalan tenang seakan tanpa beban. Tetap menyapa teman meski ala kadarnya.

"Astaga!" Di belokan selasar, dia langsung menghentikan langkah ketika nyaris bertabrakan dengan...

Jagya.

Aurora mundur dua langkah, berusaha menghindari Jagya yang berarti menghindari masalah. Namun sepertinya pemuda itu ingin bermain-main dengan Aurora. Jagya malah mendesaknya ke sudut selasar. Membuat Aurora gelisah salah tingkah.

"Ada perlu apa?" tanya Aurora mencicit.

"Ternyata istrinya Angkasa Dirgantara masih mahasiswa." Jagya mendengus meremehkan. "Dia suka daun muda atau lu sugar baby?"

Aurora makin gelisah. Dia tidak siap dengan pertemuan ini. Sepanjang pagi sampai siang, dia terlalu fokus dengan kelakuan Angkasa, lupa bahwa anak biologis lelaki itu sangat mungkin ada di sini.

Kalimat itu sungguh merupakan pelecehan, tapi Aurora tidak siap membela harga diri. Dia begitu terkejut.

"Kenapa lu mau nikah sama duda?"

"Bukan urusan lu." Berusaha membentak, tapi lebih terdengar seperti mendengking.

"Gue tau siapa lu." Wajah Jagya semakin menunjukkan kesombongannya. "Umpan lu kena ya. Nggak cuma buat simpanan, tapi diresmiin."

"Bukan urusan lu!" Aurora berusaha menaikkan tone.

Jagya lagi-lagi mendengus.

"Lu mau lihat apa yang seharusnya jadi urusan lu?"

"Nggak perlu. Gue nggak ada urusan sama lu."

Jagya terkekeh. Kekeh mengesalkan tapi juga menakutkan. Dia seperti iblis di mata Aurora.

"Yang seharusnya lu lihat ini memang bukan urusan kita, apalagi urusan gue...." Jagya menggantung kalimatnya. Membuat aura makin tegang. Aurora menunggu kelanjutan kalimat Jagya. "Ini urusan lu sama laki lu." Berbisik, mendesis.

Hatinya tersengat, kepalanya bersiaga. Jagya sangat berhasil memainkan perannya sebagai antagonis. Aurora seperti tikus kecil terjebak di sudut ruang. Hanya bisa mencicit berharap keajaiban. Memang Jagya tidak menyentuhnya sama sekali, tapi kalimat-kalimat melecehkannya menjatuhkan mental Aurora.

"Kecuali lu nggak masalah dijandain." Tatapan Jagya membuat Aurora merasa terintimidasi. "Tapi nggak apa-apa sih. Masih muda. Masih banyak yang mau. Apalagi sudah bekasan. Nggak perlu kena tuduhan ngerusak anak gadis orang."

Mendelik, kali ini Aurora bukan lagi hanya merasa terintimidasi. Dia merasa terhina. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh, bertahan tidak menyerang lelaki itu.

Jagya mengeluarkan ponsel dari saku celana, setelah mencari sebentar, dia menunjukkan isi layar ponsel.

"Mending lu packing barang dari sekarang." Kalimat Jagya itu menjadi suara latar ketika dia melihat isi layar ponsel Jagya.

Seberapa pun kuatnya Aurora berusaha tidak terpengaruh dengan apa yang dia lihat, tetap saja, dia merasa limbung. Mungkin dunianya tidak runtuh, tapi dia merasa dia salah melangkah.

Jagya melangkah pergi dengan seringai lebar di bibir, sementara Aurora menjadi patung di tempat yang sama. Kakinya kaku tidak bisa melangkah.

Apa waktu bisa diputar ulang untuk mengulang langkah?

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang