209, Cukup Aku Saja

122 30 4
                                    

Pagi itu, Aurora tetap memilih diam setelah semalam dia mengantar Bumi dan Tari dan dia benar-benar hanya menjadi pengantar. Memang semua menyambutnya ramah. Rey bahkan memeluknya erat dan berterima kasih sudah merawat anak-anaknya meski hanya beberapa jam. Namun, dia tetap merasa asing ketika Angkasa, orang yang membuat dia menjadi bagian keluarga itu, hanya berbicara padanya ala kadarnya.

Sungguh, dia tahu semua berita tentang peristiwa itu hanya dari sosial media. Tidak ada info lain dia dapat dari Angkasa selain pernyataan awal bahwa suaminyalah yang menjadi fotografer.

Apa salah jika dia berharap lebih? Hanya berharap bahwa dia tahu info langsung dari suaminya, salah satu pelaku, bukan dari sosial media. Apa itu terlalu berlebihan? Jika itu saja berlebihan, bagaimana dia bisa berharap mendapat info detail? Ini yang membuat dia menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai berita itu. Dia harus menjawab apa? Sementara mungkin yang bertanya jauh lebih banyak tahu. Dia hanya bisa menjawab ala kadarnya, mencari jawaban aman, itu pun berasal dari media. Dan demi bisa menjawab yang cuma ala kadarnya itu, dia memaksa diri mencari tahu termasuk di portal berita pergunjingan.

"La..."

Aurora tersentak ketika dia merasakan ada yang menyentuh lengannya. Segera kepalanya mencari sumber suara dan gerakan.

"Eh, ya, A? Ada apa?" Tergagap.

"Itu, Nad dari tadi panggil kamu."

Refleks Aurora menoleh ke arah Nad yang bibirnya sudah mencucu merajuk. Membuat Aurora merasa tertangkap basah melamun, pun bersalah pada Nad tapi sekaligus ingin terkekeh melihat wajah mungil itu merajuk.

"Kenapa, Nad? Maaf, Ibu nggak dengar."

"Ibu ngelamunin apa sih?"

"Eh, nggak. Ibu nggak ngelamunin apa-apa."

"Lalu kenapa nggak dengar Nad panggil-panggil Ibu?"

"Ibu lagi banyak tugas. Lagi mikirin gimana ngerjainnya."

"Tugas yang kemarin, La?" tanya Angkasa.

"Salah satunya," jawab Aurora cepat. Tentu dia tidak akan memberitahu Angkasa apa yang menjadi tajuk utama isi kepalanya kan?

Atau....

Dia beri tahu saja?

"Ibu mau berangkat jam berapa? Kan katanya Ibu harus siapin kelas dulu," sambar Nad cepat. Kembali membuat Aurora tergagap dan melupakan sebersit isi kepalanya.

"Eh?"

"Tuh, kan. Ibu ngelamun lagi." Bibirnya kembali mencucu dengan kaki mengentak-entak meski tergantung terayun.

"Iya, ayo, sekarang aja ke sekolahmya." Aurora langsung memundurkan kursi.

"Ya habisin dulu makannya dong, Ibuuu...." Nad memutar mata lucu, membuat Angkasa terkekeh. "Makanya tadi Nad nanya, Ibu mau berangkat jam berapa? Makannya belum habis. Ck," decaknya sambil tangan bersedekap. Kekeh Angkasa makin kencang.

Dia hanya menertawakan anaknya yang lagaknya seperti orangtua tapi kekeh itu membuat Aurora memerah, merasa Angkasa menertawakan dia yang melamun. Membuat Aurora langsung fokus menghabiskan isi piring sambil meneguhkan hati tidak akan bertanya apa pun tentang urusan keluarga mereka.

Mereka?

Dia mempercepat kunyahannya.

***

Aurora bersyukur dia di sekolah Nad hanya untuk urusan penelitian. Tidak tahu apa jadinya jika dia harus menjadi yang utama mengajar anak-anak tak bisa diam itu.

"La...."

Lagi-lagi Aurora tersentak ketika namanya disebut disertai guncangan di bahu. Refleks dia mendongak dan mendapati wajah Viola, wali kelas Nad.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang