213, Sedikit Lebih Baik [?]

107 23 5
                                    

Selain urusan foto yang masih belum jelas siapa pelaku penyebarannya, bisa dibilang sekarang semua terasa lebih baik. Foto itu memang masih menjadi pusat ghibah nasional dan sensasional. Tentu saja. Selama ini, Rey Samudra yang dikenal sebagai model yang sopan, yang selalu menolak tawaran berfoto terbuka, tiba-tiba mengguncang dunia maya dengan foto sesensual itu.

Tapi, saat ini, semua terasa lebih baik ketika mereka merasa lebih baik berusaha melupakan dan membiarkan warga net melupakan kehebohan ini. Memang butuh waktu, tapi percayalah, mereka sangat gampang teralihkan. Berharap saja ada pesohor lain yang foto mesumnya beredar atau kalau perlu video mesum. Meski hanya sembilan belas detik, sebuah video dapat menghapus sensasi foto sensual. Jangankan foto sensual, video mesum bisa sangat cepat mendamaikan dan menyatukan berbagai jenis perang dunia maya. Video pemersatu bangsa.

Atau berharap saja ada kejadian besar yang butuh pengalih perhatian. Nah, biarkan pelaku di kejadian besar itu yang membuat pengalih perhatian. Urusan foto Rey dan Fabian akan ikut teralihkan, lalu terlupakan.

Berharap itu, dan tidak ada kejadian menggemparkan seminggu ini, malam itu semua bisa pulang dengan kepala lebih ringan. Seperti Ari. Dia yang sejak urusan donor merebak menjadi lebih sibuk dan tegang malam ini entah mengapa merasa sangat santai. Dia hanya ingin pulang dan berkencan dengan Dee. Sudah terlalu lama mereka tidak bercinta. Mengingat itu, sebagian tubuhnya langsung terbangun. Membuatnya menyeringat mesum dan menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Tak sabar.

Dinda yang menyambutnya disambut dengan lumatan panas di bibir. Membuat istrinya terkejut tapi Dee bisa mengimbangi hasrat suaminya. Ketika keduanya kehabisan napas, baru mereka melepaskan diri. Sedikit menjauh dari wajah masing-masing, Dinda tertawa kecil melihat gairah di mata Ari.

"Kayaknya ada kabar baik nih." Dia mencubit puncak hidung lelakinya. "Yang sebarin foto sudah ketauan?"

Ari menggeleng.

"Lalu?"

"Nothing."

"Hah?"

"Nothing happened."

"Eh?"

Ari menghela napas. "Sebulan ini kita sangat sibuk. Pikiran penuh. Beberapa hari terakhir aku merasa semua lebih tenang, semua berjalan normal atai minimal di normal-normalkan."

"Lalu?"

"Tidak ada kejadian apa-apa." Ari mengedikkan bahu. "Aku merasa lebih santai. Relaks. Tidak tegang."

"So?"

"Ketika pikiran tenang, tidak tegang, ternyata ada yang lain yang tegang." Dia menggerakkan pinggulnya, membuat Dee merasai ada yang menusuk mengganjal di perutnya.

"Oh, begitu ternyata cara kerja hardware dan software lelaki ya?" Dia terkekeh sambil ikut menggoda Ari. "Sinerginya seperti itu."

"Jangan terlalu banyak cakap, Dee. Layani saja aku." Dia sudah menarik perempuannya ke kamar, melanjutkan apa yang tadi terinterupsi interogasi Dinda.

***

"Oh. My. God," engah Ari. Dia masih sulit berkata-kata. Terlalu dibanjiri hormon membuatnya bodoh bahkan untuk sekadar mencari kata.

Dinda pun sama. Dia bahkan masih di awan. Mengawang-awang, melayang. Membiarkan Ari melakukan apa pun atas tubuhnya.

Malam yang panas memang butuh beberapa saat untuk mereda. Setelah jeda yang cukup santai, akhirnya mereka utuh mendarat di bumi. Keduanya telentang pasrah bersebelahan dengan napas yang sudah teratur tapi keringat masih tersisa.

"Bercinta benar-benar relaksasi," desis Ari yang membuat Dinda mendesah mengiyakan.

Setelah semua penat di kantor dan di dunia maya yang merembet ke dunia nyata, Ari merasa sel-sel tubuhnya kembali hidup setelah pelepasan yang benar-benar lepas. Sungguh, penat ini membutuhkan celah untuk meledak. Selama ini, semua dia simpan sendiri ketika Fabian yang selalu menjadi sandarannya begitu kacau. Mungkin tidak sendiri, masih ada Dinda, tapi membayangkan masalah yang mereka hadapi, kepalanya seakan ingin meledak. Ternyata, cukup meledakkan kepala yang tidak berotak semua menjadi jauh lebih baik. Atau mungkin memang sudah lebih baik? Pelepasan ini hanya klimaks fisik.

Entahlah.

Ari hanya menikmati kenyamanan ini. Saat otot-otot tubuhnya mengendur, kepala bawah kosong, kepala atas pun ikut kosong. Dia abai. Dia tidak butuh otak kali ini.

Kali ini ganti Dinda yang mengurus mereka. Ari benar-benar menikmati pelayanan istrinya. Dia yang melepaskan pengaman dari tubuh Ari, kali ini tanpa ucapan perpisahan pada benih-benih itu. Dia membersihkan Ari dengan tisu basah tanpa tendensi apa pun. Tapi—

"Don't seduce me, Dee." Mendesis.

"I don't." Dinda tertawa kecil dan melanjutkan pelayanannya. "Kamu aja yang panasan. Kalau masih mau bilang aja sih, Ri."

"I will. But let me breathe for a while." Dia sudah membuka mata. Meski kelopaknya masih terasa berat tapi pemandangan di bagian bawah tubuhnya membuat mata itu lebih mudah terbuka. Dinda yang polos menunduk membersihkan tubuh.

"Kamu sudah mau haid lagi, Dee?" tanya Ari tiba-tiba. "My note said not yet."

"Kenapa?"

"Dada kamu lebih berisi, Babe."

Dinda langsung tersentak. Berusaha menutupi kegugupannya dengan terkekeh. Kekeh yang terdengar aneh di telinganya sendiri.

"Sumpah, aku yang lapar mata atau kamu yang makin berisi." Ari menarik istrinya ke pangkuannya. Melihat tubuh berisi berbentuk istrinya, dia ingin menikmatinya lagi dan lagi. "Berat kamu naik kah?"

"Sudah lama nggak nimbang."

"Tapi, sumpah, Dee. Kamu semakin seksi," ujarnya dengan tangan yang sudah ke mana-mana.

Dan yang ke mana-mana itu berlanjut lagi. Ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka. Tapi biarlah. Selama semua baik-baik saja.

***

Dinda merasa badannya luluh lantak. Dengan tangan menopang di counter, dia berdiri di depan cermin menatap bayangan tubuhnya. Dia sangat khawatir dengan kehamilannya. Seharusnya mereka menahan diri di trisemester awal kan?

Hasil USG mengatakan usia kehamilannya baru sebulan. Banyak wanita yang baru menyadari dirinya hamil di bulan kedua atau bahkan ketiga. Sebelum itu, pertemuan-pertemuan suami istri terjadi tanpa rasa khawatir kan? Jadi ini lebih ke mind set.

Baiklah.

Dengan pemikiran itu, Dinda meyakinkan dirinya bahwa anak mereka baik-baik saja di dalam sana. Tangannya tak henti mengelus perut yang masih rata. Tentu dia menyadari perubahan tubuhnya. Dia malas memakai bra ketika merasa bra-bra miliknya menjadi sangat kecil. Isinya seakan tumpah keluar. Jeans pun mulai sesak.

Dia sangat bersyukur tidak ada morning sickness. Dia pun sangat berterima kasih pada anaknya untuk pengertiannya.

Dia meraih selembar tisu lalu menyapu kewanitaannya. Memastikan tidak ada bercak darah bekas kebrutalan Ari.

"Dee ... are you okay?" Suara Ari menghentikan lamunannya. "Kenapa lama sekali, Sayang?"

Kekhawatiran itu membuatnya bergegas membersihkan sisa-sisa percintaan mereka. Melupakan khayalan kebahagiaan Ari dan perlakuan seperti ratu yang akan dia terima dari Ari seperti cerita Rey dan Nana ketika hamil.

Dia menyambar jubah mandi sebagai ganti baju yang tertinggal di ranjang. Bergegas keluar, tidak mau Ari berteriak khawatir lagi. Tapi pemandangan di depannya membuat jantungnya lupa berdetak dan dia lupa bernapas. Setelahnya, jantung itu berdetak sangat kencang dan dia tidak bisa bernapas melihat Ari berdiri di tengah kamar dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.

Melihat benda di tangan Ari, dia bukan lagi khawatir, tapi panik.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang