214, Dua Nyawa dan Satu Hati

104 26 5
                                    

Melihat benda di tangan Ari, dia bukan lagi khawatir, tapi panik.

"Apa ini, Dee?"

Ari menunjukkan benda di tangannya agar Dinda bisa melihat lebih jelas. Namun sebenarnya tidak perlu. Dinda sudah mengenali benda itu sejak awal. Sejak dia melihat wajah datar itu mendekati marah dan takut dan panik.

"Dinda." Mendesis. "What the hell is it?"

Dinda masih kehilangan suara dan tenaga.

"Adinda Asha Aruna! I'm asking you."

Tapi apa yang harus dia katakan? Semua sudah jelas kan? Garis dua di sana begitu jelas.

"Punya siapa ini, Dee?" Ari masih terus bertanya.

Punya siapa lagi? Mana mungkin dia menyimpan test pack milik orang lain.

"DINDA! JAWAB AKU!"

Wajah datar itu makin hilang, makin ke arah panik. Bukan marah. Melihat itu, Dinda seperti tersengat. Dia tahu, lelakinya butuh ditenangkan.

"Ri." Perlahan dia berusaha menguatkan kaki meneguhkan hati, berjalan ke arah lelakinya.

"JAWAB, DINDA!"

Ari, makin berteriak, makin menunjukkan kepanikannya. Membuat Dinda makin runtuh.

"This ... is ... ours."

"You kidding me, rite?" Ari berusaha mengelak.

"Nggak, Ri. Itu anak kita."

"NO!" Dia melangkah mundur. Menghindari kenyataan. "You lie to me, Dee!" Mendesis.

"Nggak. Itu anak kita. I'm pregnant." Dinda tidak berusaha mendekat lagi. "Aku hamil, Sayang."

Test pack jatuh. Ari total membeku.

.

Aku hamil, Sayang.

.

Suara itu terdengar dari jauh, tapi begitu jelas. Hari di musim gugur. Udara cukup nyaman untuk tubuh tropisnya. Tapi mendengar ucapan Sophia, Ari merasa tubuhnya kaku membeku. Setelah dia bisa mencerna isi kalimat singkat itu, kepanikan menerjang.

Seperti saat ini. Dia tahu apa arti benda yang dia pegang sejak awal dia melihatnya. Tapi dia baru menerima kebenaran itu setelah Dinda mengakui kehamilannya dan itu melemparnya dengan kejam ke masa dua windu lalu.

Sudah berlalu begitu lama tapi bekasnya masih sangat nyata. Terlebih saat ini, saat dia merasakan perasaan yang sama.

Melihat Ari yang melihatnya sepertu hantu, hati Dinda tercabik. Iya, dia sangat sedih dengen penerimaan Ari, tapi dia tahu alasannya. Sangat tahu, dan lihatlah lelaki itu di sana, beberapa langkah di depannya. Lelaki itu seperti kehilangan ruh. Melihat Ari seperti itu, yang lebih nyata daripada ketika menyadari Ari akan mengalami hal yang sama jika tetap bersamanya, Dinda pun limbung. Tungkainya makin sulit tegak, telapaknya seperti busa yang melayang di atas air. Ringan, namun perlahan memberat, dan siap tenggelam. Tapi dia tidak akan tenggelam. Dia tetap harus melihat Ari yang hancur di depannya.

Dia tidak siap melihat Ari yang begini. Itu alasannya dulu dia pergi. Lalu untuk apa dia bertahan jika tetap harus melihat Ari seperti ini?

Untuk anaknya. Anak mereka.

Ya...

Untuk anaknyalah dia harus bertahan. Termasuk bertahan meyakinkan Ari bahwa dia baik-baik saja.

Ya ...

Dia baik-baik saja. Begitu baik sampai segala rintangan pun tidak bisa menghalangi benih itu bertumbuh di rahimnya. Benih itu anak Ari yang harus dia jaga.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang