221, Jatuh

97 28 8
                                    

Aurora sudah menyiapkan piyama untuk suaminya. Menunggu Angkasa selesai mandi dengan gelisah.

Lama banget ... biasanya nggak lama kaya gini? Ngapain aja sih di kamar mandi?

Hampir satu jam menunggu, Aurora sudah tidak sabar lagi. Dia memilih melihat apa yang sedang dilakukan suaminya di kamar mandi.

"AA...!" Aurora berteriak melihat suaminya terpuruk memeluk lutut dengan masih berpakaian lengkap. Kepalanya tersembunyi di balik kedua lutut. Tubuhnya menggigil. Segera dia mematikan shower yang mengalir full.

"A, Aa kenapa...?" Dia berjongkok dan berusaha mengangkat kepala lemah itu. "Ayo bangun, A. Aa kedinginan." Dia berusaha menarik berdiri sosok yang tak lagi dikenalinya. Nanti saja untuk interogasi. Tapi Angkasa seperti berada di angkasa. Susah membawanya kembali ke bumi. Setelah mengeluarkan seluruh tenaga, akhirnya Aurora berhasil membuat Angkasa berdiri. Dengan cepat dia melucuti pakaian suaminya hingga tak bersisa. Lalu menyambar jubah mandi untuk menutupi kepolosannya. Membantunya memakai jubah itu, lalu mengikat talinya asal saja.

"Kamu ngapain di sini, La?" Datar. "Sudah malam, kok belum tidur?"

"Sudah. Ayo, A. Aa pakai baju dulu." Dia melangkah sambil menarik tangan Angkasa. Tapi genangan air dari baju basah Angkasa mengalir sedikit menghalangi jalan.

"Aaaahh...!!!" Aurora terpeleset. Nyaris jatuh berdebum jika Angkasa tidak segera menangkap jatuhnya.

Angkasa kembali ke bumi.

"Olla! Kamu nggak apa-apa kan?" Dia mengamati tubuh di pelukannya. Mengamati wajah istrinya yang masih menyisakan ekspresi kaget.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa." Tangannya masih di dada telanjang Angkasa. Bisa merasakan kulit meremang suaminya, dan degub jantung yang berlari cepat.

"Cuma kepleset aja, Olla nggak apa-apa kok, A." Bergerak keluar dari pelukan Angkasa untuk kembali ke tujuan semula. Memakaikan baju suaminya.

"AURORA!" Angkasa menarik tangan Aurora, "Lengan kamu luka!" Luka gores kecil tercetak di lengan kanan istrinya. Mungkin bekas tadi terpeleset tergores sudut apa pun itu. Hanya luka kecil, darah pun sangat sedikit. Lebamnya pun nyaris tak terlihat. Tapi itu membuat Angkasa panik. Sangat panik.

"Kamu luka, La!" Dia menarik Aurora ke luar kamar mandi. Suara dan wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Aurora hanya diam terpana melihat ekspresi suaminya dan dia ditarik seperti itu untuk luka sekecil ini.

"Aduhhh ... maaf ya, La..." dia mendorong Aurora duduk di pinggir ranjang.

"Sebentar, La..." bergerak bingung, ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu. "Ah, di luar." Dia segera meluncur pergi.

"AA...!" Aurora berteriak, tapi suaranya tak bisa mengejar lari terbirit Angkasa. Tak lama, Angkasa sudah muncul, dengan tangan memegang iodine, plester luka, perban, kapas, gunting kecil, ...

Apa ini? Luka sekecil ini? Bahkan luka di bibirnya lebih parah.

"Sini, La..." Angkasa sudah duduk di samping Aurora. Tangan bergetarnya sibuk menuang iodine ke kapas, dan ... tumpah. Mengotori jubah mandi dan paha. Membuat pandangan, Aurora teralihkan ke tumpahan itu di saat yang sama Angkasa mengabaikan apa pun itu

Astagaaa....

Tapi Aurora tidak sempat berpikir lebih jauh lagi, kali ini dia kembali teralihkan oleh kesibukan Angkasa.

"Perih dikit ya ... nggak apa-apa ya ... maaf ya ... tahan dikit ya..." Dia terus berbicara, panik, sambil menepuk-nepuk kapas yang basah—kuyup—iodine ke luka kecil itu.

"Maaf ya, La..." Kali ini dia akan menutup luka itu dengan plester, "Gara-gara aku kamu luka..."

Aurora tak bisa berkata apa-apa.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang