253, Nyonya Brotoseno

107 25 4
                                    

Nia berdiri mematung menatap layar lebar di depannya. Sigap, semua langsung mengamankan perempuan itu. Pecahan piring berserakan di sekitarnya. Fabian mengambil sandal, memakainya, lalu langsung berjalan ke arah Nia, setengah menggendong perempuan itu ke tempat aman. Yang lain langsung membersihkan pecahan piring. Ruang tengah kembali ramai.

Wajah Nia pucat pasi. Menatap tegang ke layar TV. Tegang dan takut. Ketakutan. Rey datang membawakan segelas air hangat, tapi perempuan itu tidak bereaksi sama sekali.

"Nia, kamu kenapa, Dek?" tanya Fabian dengan suara lembut.

Tapi Nia tidak ada di sana. Dia berada di tempat lain sepuluh tahun lalu. Tempat di mana dia dihargai hanya sebagai pemuas nafsu. Tempat di mana tubuhnya babak belur dan hatinya hancur lebur. Tempat di mana dia kehilangan janinnya. Tempat di mana neraka itu bernama rumah. Mengingat itu semua, dia makin ketakutan. Dia menarik kakinya ke atas lalu meringkuk sampai menyembunyikan kepalanya di antara tungkai.

"Nia, Nia..." Semua panik. Terlebih ketika dia menceracau.

"Ampun ... ampun ... sakit, Mas ... sakit ... jangan ... jangan, Mas...." Lirih. Dia tetap meringkuk dan jatuh. Pegangan tangannya sangat kuat melindungi dirinya. "Mbok Mi, tolong aku.... Mbok Mi...."

Dr. Nona turun tangan. Sedikit suntikan obat penenang bisa membuatnya melayang tenang. Lalu semua terdiam, menunggu Nia tersadar.

"Aku kasih cuma dikit. Yang penting dia tenang dulu."

Fabian berjalan mondar-mandir dengan tangan menarik rambut, mengacak wajah, atau memijat pelipis.

"Kalian bisa hubungin Nia dengan video itu?" tanyanya.

"Mbak Nia terhubung kalau nggak sama Manuel ya sama Broto."

"Gue tebak. Broto." Fabian memijat pelipis. Sungguh pening kepala. "Kata Ben, Broto bosnya yang dendam sama gue. Ben sudah lama kerja sama Broto. Antara kebakaran sama Non diculik. Manuel orang baru."

"Broto suaminya Mbak Nia?" tanya Rey terkejut. Takut dengan kesimpulannya sendiri.

"Browsing. Nama istri Brotoseno," perintah Fabian. Semua mengambil ponsel masing-masing.

"Kanianda." Angkasa seperti melihat hantu.

"Hah?" Fabian terkejut. "Di KTP namanya K NIANDA."

"A-nya hilang tuh." Tristan menyimpulkan cepat. "Pantas gue nggak pernah dapat nama K. Nianda kalau browsing."

"Hah?"

"Gue mau tau siapa Mbak Nia. Memang kalian nggak pernah kepo?"

Fabian menggeleng. "B*g* banget ya gue?"

"Iya. Kadang-kadang." Tristan.

"Bagus sih. Daripada pintarnya yang kadang-kadang." Angkasa.

"Non, Abang kayaknya butuh penenang juga deh." Fabian membanting bokong di sofa lalu menoleh ke arah Nia yang masih di awan. "A dose please, Doc."

Satu fakta anggap saja sudah terbuka tapi malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru.

Ari membuka-buka berkas dari Ben. Dia memperhatikan foto-foto kehidupan di rumah. Lalu dia mengangguk-angguk.

"Ada apa, Ri? Kok lu manggut-manggut kayak boneka mobil," tanya Fabian masih di sofa dengan posisi setengah duduk setengah tidur, setengah di bumi setengah di neraka, setengah gila setengah waras.

"Ben tidak tahu soal rumah panggung itu. Dia tidak kenal Nia yang baru tinggal di sini ketika kalian menikah. Tidak lama kalian menikah, Ben pergi. Dia tidak tahu Nia dekat dengan kamu. Jadi dia tidak bisa menghubungkan Nia dengan Broto. Dan di foto-foto ini Nia tidak terlalu fokus. Nona malah lebih fokus. Mungkin itu juga alasan kenapa Nona yang diculik. Lalu merembet ke Trisha dan Tristan."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang