216, Everything is Under Control [?]

110 30 4
                                    

Tidak ada perayaan untuk kehamilan Dinda. Semua hanya berjanji akan selalu ada untuk Dinda dan Ari. Urusan Ari tetap mereka seriusi. Ketakutan memang sering tidak butuh alasan, tapi jika sudah menyangkut urusan nyawa, urusan itu menjadi sangat penting. Meski urusan ini mereka anggap serius, tapi mereka sangat bersyukur tidak ada hal lain yang mengganggu mereka dari luar.

Mungkin semua terlihat lebih santai. Mungkin. Nyatanya tidak. Fabian tetap gelisah, tetap tak nyaman saat berada di tempat umum apalagi harus berdiri di depan kelas. Dia tetap merasa tatapan orang menelanjanginya. Rey pun sama. Dia menghabiskan waktu melarikan diri menemani Dinda.

Ari tentu tidak baik-baik saja sementara Dinda berusaha menjadi tetap baik demi anak dan ayah anak itu. Ari mengatasi ketakutannya dengan menjadi dingin pada Dinda. Yang Dinda rasa, Ari berusaha mengurangi kadar cintanya. Yang Ari ingin katakan, dia takut, dan marah karena Dinda mengabaikan maunya. Namun semua tenggelam di ceruk terdalam lubuk hati.

Angkasa tetap sibuk mencari. Bukan mencari pelaku karena dia sudah lama tahu tapi sibuk mencari celah dan alasan.

Tristan dan Non?

Mereka yang menjadi bumper. Semua yang tidak bisa dikerjakan dialihkan ke Tristan. Bahkan Non menjadi lebih aktif di kantor.

***

Angkasa melangkah gontai menuju teras. Tapi mendengar suara Nad, dia bergegas merapikan wajah. Sedikit senyum dan pelukan erat serta membiarkan Nad menaiki tubuh lelahnya cukup bagi Nad.

Setelah makan dan mandi, belum cukup malam untuk menyuruh Nad tidur, Angkasa mengisi waktu dengan menemani Nad belajar dan bermain. Tentu Aurora yang menjadi guru. Angkasa lebih cocok menjadi murid ketika dia asyik mewarnai gambar yang Nad berikan.

Ketika Nad juga asyik mewarnai, Aurora tekun memperhatikan keduanya. Sampai tanpa sadar dia lebih serius memperhatikan Angkasa.

Dia tidak tahu apa-apa tentang lelaki yang menjadi suaminya. Tapi melihat gambar yang Angkasa warnai, Aurora tahu, lelaki ini memiliki cita rasa seni di atas orang kebanyakan. Entah seni apa. Tapi mengingat kasus foto viral, Aurora tahu, Angkasa berbakat di fotografi.

Angkasa masih sama. Masih lebih banyak diam. Kadang terlihat berpikir keras tapi sering juga jelas melamun.

Komunikasi mereka semakin buruk. Hanya ada percakapan-percakapan singkat sekadar ada suara terdengar. Aurora tidak berusaha meningkatkan intensitas kedekatan mereka ketika Angkasa jelas menjaga jarak.

Mengingat itu, Aurora hanya bisa menahan rasa. Bayangan layar ponsel Jagya kembali jelas. Membuat tanpa sadar dia pun membangun tembok yang lebih tebal di antara mereka. Membuat mereka makin berjarak.

Ini lingkaran setan. Semakin lama belitannya semakin sulit diurai dan malah makin membelit kencang.

Dia tidak pernah lagi menawarkan Angkasa makan. Alih-alih menawarkan, dia menyiapkan saja makanan di meja makan. Terutama untuk makan malam. Entah Angkasa sentuh atau tidak, makanan sudah tersaji.

Seperti malam ini. Angkasa belum menyentuh makan malam. Dia hanya menghabiskan dua potong puding yang Aurora siapkan di samping pensil warna. Pun minuman hangat. Yang ini, Angkasa selalu menghabiskan isi gelasnya.

Dua hal ini membuat sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas. Apa dia sebaiknya menyiapkan seporsi makanan sekarang?

Namun dia ragu. Dan keraguan itu berlanjut sampai Nad menguap.

"Sudah ya, Nad." Perhatian Angkasa langsung teralihkan mendengar kuap Nad.

"Tapi punya Nad belum selesai."

"Besok lagi ya. Sekarang Nad bobo dulu," sambar Aurora.

"Kok punya Papa bagus? Punya Nad nggak." Bersiap merajuk. Tanda lain bahwa anak itu benar-benar mengantuk.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang