248, Kabar Gembira

107 30 3
                                    

The wives segera dikabari. Hanya dikabari untuk segera ke kantor. Dengan clue kabar gembira, perasaan mereka lebih tenang meski tetap tak sabar untuk sesegera mungkin sampai di kantor. Hanya Aurora yang tertahan di kampus.

Semua bergerak seperti kecepatan cahaya dan benar-benar fokus pada urusan Fabian. Mengesampingkan berjuta fakta lain yang Ben bawa.

Wajah Setiabudi bersinar seperti lampu ketika melihat semua bukti. Ini lebih dari cukup.

"Kalau seperti ini, anggap aja Pak Ian sudah di rumah."

Sepanjang penjelasan itu, tubuh Rey melunglai. Tidak pingsan, dia tetap sadar, tapi tubuhnya sangat-sangat lemah seperti orang pingsan. Meski begitu, dia tetap duduk setengah tidur bersama yang lain di ruang serbaguna.

Setelah menerima semua bukti dan penjelasan, Setiabudi berpamit untuk menyiapkan semua bersama tim. Setelahnya, anggap saja acara keluarga. Melupakan pekerjaan kantor yang makin menggunung. Mereka berjanji, setelah Fabian aktif kembali, mereka akan bekerja seperti kuda pacu.

"Coba mana deh hasil riset siapa si Broto ini. Aku malas browsing lagi." Non bertanya sambil mengurus Rey.

"Aslinya cuma pengusaha ilegal. Dari tambang, kayu, fishing, pokoknya ilegal semua. Bisnisnya makin besar, makin berkuasa."

"Dan apa hubungannya sama Ian?" tanya Rey merintih. "Sampai sebegitunya mau ngancurin Ian."

"Tunggu Ian pulang dulu baru kita bisa tau. Itu nggak penting. Yang penting Ian pulang dulu." Angkasa mengembalikan fokus.

"Rey kepikiran Ben." Dia memejamkan mata sambil memijat pangkal hidung. "Kalau kita buka, dia gimana? Rey yakin deh bosnya gercep cari dia dan Ben bisa langsung dihabisin. Bosnya bisa setega itu. Itu si Manuel kenapa jadi mirip Harum Nasiku? Ngilang nggak ada jejak. Jangan sampai Ben begitu juga."

"Ben pasti punya rencana lain. Begitu kasus ini kebuka, Broto bakal langsung diciduk. Dia nggak sempat ngatur ini itu termasuk cari Ben." Dee menenangkan. Semua memang sangat berterima kasih pada Ben sampai merasa melindungi Ben menjadi tanggung jawab mereka.

"Jangan gegabah. Kalau Broto modelan Ferdo Simba gimana? Bintang dua rasa bintang lima."

"Broto sipil."

"Dih, Simba banyak duit, berkuasa gitu yang ngasih duit memang jendral? Kan sipil juga."

Angkasa mengacak wajah. "Urusan begini memang bakalan merembet ke mana-mana."

"Maka itu kita dilarang menyuap."

"Kecuali nyuap nasi."

"Tapi beneran ini Rey khawatir sama Ben. Nggak bisa apa kita umpetin?"

"Lalu kita yang kena?"

"Kita kan memang incaran Broto."

"Lalu?"

"Ya berharap aja begitu bukti dibeberin di pengadilan si dajjal itu langsung diciduk. Ben juga kasih bukti-bukti lain yang bisa bikin si Brata berkerak di penjara di luar urusan Ian." Angkasa melirik ke jam tangan.

"Broto, A. Broto. Jangan disundakan," protes Tristan. "Ini bukan Andrew Wicaksana."

"Ah, terserah deh. Broto, brata, brutu. Pokoknya itu."

Tristan mendengus.

"Olla sudah di mana, A?" tanya Rey masih dengan suara lemah.

"Sebentar lagi sampai."

"Dia ketinggalan banyak banget. Nggak pernah ngumpul, ngurusin Nad terus. Lu ajaklah dia jalan-jalan, A. Baru sebulan nikah langsung kena masalah kayak petasan renceng gini." Tristan berkata sambil melirik dengan tone sinis. "Ajak bulan madu.'

"Iya. Nanti beres semua urusan gue ajak jalan."

"Kalau Ian sudah pulang, Nad ke rumah aja, A. Biar Aa bisa berdua aja sama Olla."

"Iya."

Tak lama yang dibicarakan datang. Sebagai yang paling baru dan paling muda, dia menyalimi semua yang di sana.

Angkasa menarik Aurora agak ke sudut. Dia hanya mengatakan bahwa mereka memiliki bukti sangat kuat dari Ben untuk membebaskan Fabian. Tentu semua masih sangat buram bagi orang baru, tapi kesimpulan bahwa Fabian akan bebas sudah cukup membuat Aurora berkaca-kaca.

"Ben ini teman Bang Ian?"

"Aku nggak kenal. Dulu dia bikin ulah sebelum aku gabung dan dia pegang pabrik di Karawang. Nggak pernah ketemu."

"Teman baik banget ternyata."

"Ada yang mau aku omongin sama kamu, Aura."

"Apa?"

"Kita ke ruangan aku aja."

"Atuh nggak enak, A. Lagi pada kumpul begini."

"Ck. Cuekin aja. Nurutin mereka ngumpul begitu nggak akan ada habisnya."

Angkasa berdiri dan menarik tangan Aurora.

"Bubar, bubar." Dia berjalan melewati semua. "Balik kerja lu." Dia menendang kaki Tristan.

"Basi banget sih lu, A." Tristan balik menendang. Hanya Ari di sini yang bebas perundungan fisik. Bukan karena aura mengintimidasinya tapi karena semua segan padanya. Gaya bergurau Ari memang berbeda.

"Ada apa, A?" tanya Aurora begitu pintu menutup di belakang mereka, bahkan bokong mereka belum menyentuh sofa. Angkasa membanting tubuh tepat di samping istrinya.

"Bukan Jagya pelakunya, Aura." Angkasa menutup wajah dengan dua telapak tangan lalu tangan itu menumpu di lutut. Membuatnya membungkuk. Napasnya terdengar kasar di antara jari.

Mendengar itu, Aurora terdiam dengan wajah terkejut.

"Serius, A?"

"Iya. Ben bawa buktinya. Ternyata mereka ambil foto Ian dan Rey dari memory card. Aku sudah lupa memori itu. Sudah lama juga nggak foto-foto pakai DLSR. Sejak era mirrorless aku jarang hunting foto."

Aurora memeluk Angkasa. Begitu bahagia. Tapi kenapa suaminya itu begitu muram?

"Aa mikir apa lagi? Kan bagus tuh kalau bukan Jagya."

"Kenapa Jagya bohong? Buat apa dia ngakuin itu kerjaan dia? Apa sih rencana anak itu?"

"Iya ya." Aurora menggigit bibir. "Jadi yang lain sudah tau soal tuduhan Aa ke Jagya?"

Angkasa mengangguk. "Tadi aku keceplosan. Tapi aku belum cerita detailnya. Yang penting urusan Ian beres dulu."

"Tapi kalau kayak gini, apa nggak bikin orang lain mikir Aa ngorbanin Ian demi Jagya?"

"Itu juga yang aku pikirin. Makanya aku lebih banyak diam dan tarik kamu ke sini. Aku tetap belum tenang, Aura."

"Sabar ya, A." Dia mengelus punggung Angkasa dengan tekanan kuat. "Kita selesaikan satu-satu." Dia menumpangkan dagu di bahu suaminya. "Aku yakin mereka akan ngerti alasan Aa nggak langsung lapor soal Jagya." Lalu kepalanya jatuh di punggung itu. Mungkin tubuhnya menambah beban Angkasa, tapi dia pun butuh sandaran. Dia pun butuh ditenangkan. Semuanya datang menerjang begitu cepat.

Semoga yang lain tidak berpikir Angkasa sebagai pengkhianat. Dia mulai menyusun konsep pleidoi untuk Angkasa.

***

Bersambung

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang