226, Logika Dan Perasaan

86 25 10
                                    

Sejak pagi yang suram itu, Rey tidak pernah melewati pintu keluar rumah sakit. Bertahan di depan kamar perawatan Fabian. Walau seluruh dunia, termasuk Fabian sendiri memaksanya pulang, dia bergeming. Tetap diam menunggu di depan kamar. Menunggu waktu besuk tiba. Sudah bersedia berdiri di depan pintu beberapa menit sebelum waktu berkunjung tiba.

Fabian sudah memohon agar dia pulang, beristirahat di rumah. Mengiba sampai menangis. Tapi Rey tetap bertahan, menunggu terhalang pintu ketika jam berkunjung usai. Sesekali melongokkan kepala, melihat kondisi Fabian sekaligus agar Fabian meihat bahwa dia selalu ada, setia menunggu.

Ari menahan begitu banyak orang yang ingin menengok Fabian hanya agar Rey memiliki lebih banyak waktu berdua saja dengan suaminya. Melihat dua manusia itu berlaku, Ari dan Tristan hanya bisa terdiam. Tak bisa memisahkan keduanya. Walau Fabian selalu mengiba agar Rey pulang dan beristirahat di rumah, tapi dia tidak bisa menyembunyikan kelegaannya setiap kali melihat wajah Rey melongok masuk. Benar-benar hanya menjulurkan kepala. Berharap dia memiliki leher lentur seperti plastic man, atau setidaknya sepanjang leher jerapah agar bisa lebih dekat dengan Fabian.

Ah, logika dan perasaan memang terlalu sering tak seiring sejalan.

Ari dan Tristan benar-benar seperti mesin pemindai rusak yang hanya mampu memindai orang terdekat saja. Mereka juga mengatur agar ada minimal dua orang yang mendampingi Rey.

Hari yang melelahkan buat semua. Tapi tak ada yang mengeluh. Tidak untuk lelah badan ini. Tapi ingin berteriak dengan semua yang terjadi.

"Teh, kata dokter Bang Ian sudah bisa keluar dari rumah sakit." Non berkata sangat berhati-hati. Dan benar saja, kalimat itu malah membuat Rey menangis.

"Tapi Ian balik ke sel kan, Non? Bukan ke rumah kan?" Non mengangguk takut-takut. "Nggak tau mendingan mana, Ian sakit jadi bisa di rumah sakit, biar Rey bisa tungguin kayak sekarang. Atau Ian sehat tapi di sel, Rey susah ketemu Ian."

"Iya, Teh. Non ngerti. Bang Ian nggak akan mau pura-pura sakit biar bisa di sini."

"Kalau pun mau, sekarang sudah nggak bisa kayak gitu, Non. Itu waktu Indonesia masih zaman jahiliyah. Hukum kita sekarang nggak bisa dimainin." Tristan menjelaskan.

"Ian tuh suruh Rey pulang cuma biar Rey bisa istirahat, tapi Rey tau, Ian nggak mau ditinggal."

"Rey," Tristan langsung menyambar. "Gue juga nggak mau ditinggal Non kalau di posisi Bang Ian. Dulu waktu gue dirawat juga gue maunya ada Non terus. Tapi gue harus suruh Non pulang biar bisa kuliah. Dia sudah kebanyakan bolos dan gue baik-baik aja. Jadi ya memang lu seharusnya pulang."

"Kalau sekarang ya gue mau nggak mau pulang. Gue cuma akan mikir Ian masih dirawat, bukan di sel." Rey ingin meraung.

Non menarik napas panjang. Apa yang Rey rasa sepertinya lebih berat dari yang dulu dia alami. Tapi dulu dia berhadapan dengan maut kan? Saat ini Rey hanya berhadapan dengan Fabian yang stres. Tapi, ah ... baiknya memang tidak membandingkan. Semua sama beratnya.

"Gue nyesal banget kemarin kabur, Bang." Kali ini airmatanya berlerai. "Gara-gara itu Ian ngedrop gini." Satu isak keluar dari hidungnya. "Kejadiannya masih baru banget. Gue pergi padahal Ian lagi stres banget. Lalu sekarang dia mikir yang aneh-aneh." Isak lain menyusul.

"Gue sih nggak heran kalau Bang Ian mikir ke sana, Rey. Orang stress ya bawaannya negative thinking aja."

"Ya itu yang bikin gue nyesal. Ian jadi negthink karena baru kejadian. Sampai dia kambuh begini."

"Namanya penyesalan selalu datang belakangan, Rey. Kalau di awal namanya pendaftaran. Lu ingat-ingat deh biar nggak lagi-lagi lu kayak kemarin. Gue nggak tega lihat Bang Ian panik cariin lu. Tau, tapi nggak bisa kasih tau. Ck." Ini adalah gerutuan yang tertunda. "Kalau nggak takut lu bakal kabur lagi gue pasti sudah info ke Bang Ian, Rey."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang