262, Yang Terbaik Bagimu

116 24 3
                                    

Matahari benar-benar sisa lengkung tipis di barat. Senja akan berganti malam. Angkasa melepaskan pelukannya dengan tepukan di bahu Jagya. Dengan ekor matanya dia melihat Aurora berdiri menjaga jarak. Mungkin dia tidak mau mengganggu romansa ayah dan anak lelakinya. Dia melambai memanggil Aurora mendekat. Jagya tertawa kecil ketika melihat Aurora mendekat ragu dan takut-takut.

"Kenapa, Nyah? Takut?"

Tidak menjawab, Aurora berusaha menjaga jarak.

"Jangan khawatir, semester depan gue nggak di sini kok. Nggak ada yang gangguin lu lagi. Lagian stok video juga sudah habis."

"Semester depan gue sudah lulus keleus."

"Oh iya ya, Nyah."

"Kamu mau ke mana?" tanya Angkasa cepat.

"Jerman. Mau kuliah di sana. Lagi cari beasiswa."

"Beasiswa bokap lu aja. Nggak pakai ribet."

Angkasa terbahak lepas sekali, sampai beberapa orang yang lewat di dekat mereka menoleh. "Boleh," jawabnya singkat.

"Serius?" tanya Jagya tidak percaya.

"Serius." Singkat jelas padat meyakinkan.

Jagya menyeringai lebar sambil menaikturunkan alis.

"Bilang apa sama bokap lu?"

"Makasih, Pa."

"Sama gue?"

"Makasih, Nyah."

Angkasa mendengus menahan tawa. "Ya ya ya. Terserah deh panggil istri papa apa, yang penting pada akur ye. Jangan bikin pusing."

Tiba-tiba Jagya terdiam seperti berpikir dan tertegun.

"Ada apa?" tanya Angkasa.

"Jangan deh, Pa. Aku mau lanjut cari beasiswa dari luar aja."

"Kenapa?"

Jagya diam sambil menggigiti bibir. Membuat Angkasa makin penasaran dan memasang wajah heran.

"Nggak mau cerita?" tanya Angkasa lagi. "Nggak apa-apa. Papa nggak akan maksa. Kamu lanjut aja cari beasiswa yang kamu mau. Kalau nggak dapat, Papa siap kasih beasiswa. Kalaupun dapat dari luar, Papa akan kasih kamu uang jajan."

"Makasih, Pa." Namun suaranya terdengar bersalah.

Angkasa menarik napas, sungguh ingin tahu tapi tetap menahan diri bertanya. "Iya." Hanya itu yang menjadi responsnya.

"Waktu aku bilang ke Ibu..." Terputus. Sepertinya pemuda itu akan bercerita. "Aku bilang mau cuti kuliah. Mau kerja."

Diam. Angkasa menunggu.

"Ibu kayak marah. Aku harus kuliah."

"Ibu kamu benar." Tetap menahan diri tidak bertanya.

"Lalu Ibu tanya kenapa aku mau kerja, aku jawab, aku nggak mau makan lagi uang dari orang yang beli hati Bapak. Ibu nangis."

Angkasa menarik napas panjang.

"Lalu aku mikir, mau pergi aja dari sini. Cari beasiswa keluar biar bisa lanjut kuliah lalu lanjut kerja di sana."

"Kamu mau tinggalin Ibu kamu?" Angkasa bertanya hati-hati. "Dia cuma punya kamu, Gya. Kamu pergi, siapa yang jagain dia?"

Jagya menggeleng. "Kalau aku nggak mau makan uang dari jual hati Bapak, masa aku pakai uang Papa?"

"Papa dan Fabian beda urusan. Dan Fabian nggak beli hati Bapak kamu." Angkasa berkata hati-hati. Urusan ini sangat sensitif bagi Jagya. "Ketika Ibu kamu setuju Bapak kamu jadi donor, nggak ada klausa tentang pembayaran sama sekali. Mereka nggak bahas itu. Kalaupun Ibu kamu akhirnya mengangguk karena dia ngenalin Rey sebagai adik Papa, itu nggak berarti Laras ngejual hepar suaminya."

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang