217, Lebih Rumit Lagi

93 25 1
                                    

Semua berkumpul di rumah Rey. Nia dan Aurora mengamankan tiga bocah jauh dari mereka. Memang tatapan Ari yang berdiri dengan tangan tenggelam di saku celana menembus dinding kaca ke arah anak-anak itu, tapi tidak ada yang bisa tenang menikmati anak kecil bermain. Bahkan polah mereka tidak bisa menjadi obat.

Fabian duduk setengah tidur di sofa. Tristan gelisah duduk di kursi meja makan. Angkasa duduk di lantai bersandar di kaki sofa dengan kaki tertekuk dan wajah tenggelam di lutut. The wives? Non dan Dee menemani Rey yang menangis di kamar.

Kalau sudah begini, mereka langsung mengesampingkan masalah pribadi.

"Gue bikin salah ya, Ri?"

Entah apa guna Fabian bertanya itu. Ari pun tidak menanggapi pertanyaan itu. Tetap diam menatap ke luar. Sungguh, dia sangat kacau. Ingin memaki bahkan mengamuk, tapi untuk apa? Semua sudah terjadi.

"Gue nggak nyangka bisa sefatal ini. Gue cuma mau cepat aja. dan gue percaya banget sama Kate. Tapi ini memang bukan salah Kate," lanjutnya lagi meski Ari tetap mengabaikan ocehannya.

Senja menjelang gelap, langit suram ketika semburat jingga di barat tertutup bangunan. Biasnya hanya sedikit di atas atap rumah tetangga. Gumpalan-gumpalan awan semakin menutup bias itu. Tidak ada yang bisa mencerahkan hari saat hati dilanda panik.

Ada apa lagi ini? Seakan tak putus dirundung malang. Cobaan silih berganti datang. Bukan, bukan silih berganti, tapi tumpang tindih. Karena yang sebelumnya belum selesai lalu datang masalah baru.

Suara-suara di luar terabaikan. Semua membiarkan asisten rumah tangga mengurus apa pun di luar sana.

"Fabian...."

Sampai sebuah suara panik membuat empat lelaki itu langsung mengubah posisi, dari lunglai menjadi tegak.

"Kate?"

Fabian langsung berdiri. Kikuk bagaimana menyambut tamunya. Akhirnya dia hanya mengarahkan Kate duduk di sofa, membuat Angkasa harus menyingkir ke arah meja makan dan duduk berhadapan dengan Tristan terhalang meja. Ari hanya membalik badan dengan tangan bersedekap.

"Fabian, aku harus bagaimana? Aku bersedia jadi saksi."

"Aku baru dipanggil jadi saksi besok, Kate."

"Lalu?"

"Ya aku nggak tau." Dia menyugar rambut lalu tangannya turun mengacak wajah sambil mendengus kasar.

"Fabian, aku minta maaf." Dia langsung menangis. Membuat Fabian makin bingung harus melakukan apa. Tidak ada perempuan di dekat sini. "Aku sangat-sangat tidak teliti."

Fabian ingin mengoreksi diksi Kate, tapi ah, sudahlah, tidak penting.

"Siapa orang itu, Kate?"

"Aku tidak kenal dia, Fabian. Aku hanya kenal orang yang membantu aku saja."

"Lalu ke mana orang itu sekarang?"

"Sebelum aku ke sini, aku ke rumahnya. Tapi kata keluarganya dia sedang ke Maumere."

Fabian menghela napas panjang.

"Orang itu akan jadi saksi juga kan?"

"Seharusnya begitu. Besok kamu cerita apa adanya saja. Sebut nama aku, aku siap jadi saksi. Nanti aku sebut juga nama dia. Biar dia jadi saksi juga."

"Di mana Rey?" tanya Kate sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Di kamar. Sama Non dan Dee."

"Bagaimana dia?"

Fabian kembali memerosotkan tubuh. "Aku nggak berani ke kamar. Sakit aku bisa kumat lagi lihat dia nangis kayak gitu."

"Kamu seharusnya temani dia, Fabian!"

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang