222, Kontak Batin

90 26 2
                                    

Kebahagiaan berbanding lurus dengan rasa bersyukur.

Ini malam kedua. Mungkin lebih tepatnya malam pertama karena kemarin dia ada di tempat ini nyaris subuh. Dan malam itu dia lewati tanpa tidur sama sekali. Malam menjelang fajar dan tanpa tidur, layakkah dihitung satu malam?

Pengacaranya sedang mengurus surat izin menjenguk. Sebelum surat itu ada, tidak ada yang bisa menemuinya kecuali pengacara. Tertahan di sini, tentu tanpa gadget. Dia kembali menjadi manusia manual. Koper yang dikirim masuk berisi baju ganti, toiletries, jurnal kelautan, Quran, notes, dan pulpen. Entah siapa yang menyiapkan ini. Namun untuk sementara, ini cukup. Oh, termasuk penganan dan obat. Hanya pil penghilang nyeri. Tentu tidak mungkin memasukkan jarum suntik dan ampul heroin ke tempatnya sekarang berada.

Melihat pil itu, Fabian bergidik. Sangat berharap dia tidak perlu pil pereda nyeri. Dia tahu, kelemahan fisiknya adalah psikisnya. Menjaga badannya tetap sehat, dia berusaha untuk tetap waras. Terasa sangat sulit ketika dia masih tidak bisa percaya dia bisa ada di tempat seperti ini.

Di tempat yang selalu dianggap hina ini, rasa itu yang membuat Fabian bertahan. Bersyukur atas semua yang masih dia rasa, berterima kasih atas semua yang masih dia terima, berbahagia atas semua yang masih dia miliki.

Selama udara masih bisa masuk secara alami ke dalam tubuh, dia bersyukur untuk itu. Walau udara ini tak sebersih udara gunung, tapi dia tetap bersyukur, paru-parunya masih bisa menerima udara tercemar ini. Bronkus, alveolus, alveoli masih sanggup menyaring udara yang masuk menjadi oksigen yang bersih untuk menyatu dengan darah, lalu beredar bersama di sepanjang pembuluh darah, seirama detak jantungnya.

Selama jantungku masih berdenyut, syukurku tak boleh berhenti berdetak.

Di sini, waktu berjalan lambat. Setiap detik bergerak sempurna terasa. Saat-saat seperti itu, dia merasa sangat menderita. Namun, kembali, rasa itu membuatnya bertahan. Dia masih memiliki segalanya selain kebebasan raganya. Keluarganya masih utuh menantinya di luar sana. Selalu bersamanya, selalu menemaninya.

Tapi dari semua itu, dia bersyukur untuk jiwanya yang kokoh. Sungguh mudah menjadi idealis ketika berada di atas, tapi tetap menjadi idealis di saat terpuruk, itulah karakter sejati.

Dan dia akan bertahan dengan itu.

Tapi ada satu hal yang sering kali membuatnya melemah. Kehabisan daya, kehabisan akal, bukan seperti orang yang bersyukur.

Rey.

Rey, kamu sumber kekuatanku, tapi kamu juga penyebab kelemahanku.

Memikirkan wanitanya, dekat, tapi tak tersentuh, membuatnya meranggas. Bayangan ketika Rey pergi, menghilang tak bisa dia hilangkan. Hinggap, kembali menetap di memori, menempel seperti lintah.

Rey, jangan tinggalin aku. Jangan pergi.

Dia begitu ketakutan Rey akan pergi jika dia terlalu lama mengendap di sel ini.

Rey, aku tahu kamu cinta aku, aku tahu besar cinta kamu. Tapi kenapa ketakutan ini nggak mau pergi, Sayang.

Terkungkung dalam sel sempit, hatinya semakin sesak. Bertahan untuk bernapas di udara yang pengap dan sesak.

Terengah, dia berusaha mengatur napas. Tapi semakin dia berusaha menghilangkan semua pikiran buruk itu, semakin kejam ketakutan menerornya. Ketakutan memang tidak mengenal logika. Saat logikanya sangat percaya bahwa Rey tidak akan meninggalkannya, ketakutannya datang bagai hantu yang mencekik leher.

Sesak.

Ketakutan dan sesak, membuatnya meringkuk di sudut ranjang. Semakin sesak. Sesak yang akhirnya mencari jalan keluar. Dalam lemahnya, dia sigap melompat, menuju wastafel untuk memuntahkan isi perutnya yang tidak seberapa.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang